PEMILU kepala daerah (pilkada) dan Piala Dunia, masing-masing boleh punya drama yang berbeda. Namun, Pilkada Serentak 2018 dan laga Piala Dunia 2018 yang beririsan pada Rabu (27/6/2018), memunculkan keserentakan sejumlah kejutan.
Kenyinyiran barangkali adalah kepastian di negeri ini. Namun, akan selalu ada pula nuansa baru dari kejutan-kejutan semacam itu. Bahkan, rasanya mencuat kabar baik lewat cara yang sekilas tampak dan terasa tak lebih dari guyonan.
Untuk mendapat konteks kenyinyiran yang sekaligus membawa kabar baik itu, tentu perlu disebut dulu kejutan yang terjadi, baik di Pilkada Serentak 2018 maupun Piala Dunia 2018.
Pada Pilkada 2018, misalnya, sejumlah hasil survei yang digelar menjelang penyelenggaraan hajatan tersebut terjungkal telak. Sebut saja dari Jawa Barat.
Pasangan Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi yang di berbagai survei berkejaran ketat dengan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, harus tergeser ke posisi ketiga dari empat pasangan calon berdasarkan hasil quick count atau hitung cepat sejumlah lembaga survei.
Justru, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu menempel rapat hasil perhitungan cepat suara Ridwan-Uu, setidaknya dari hitung cepat Litbang Kompas.
Adapun dari Piala Dunia 2018, salah satu kejutan teranyar adalah tersingkirnya "petahana"—ups, juara bertahan—dari Piala Dunia 2014, Jerman, setelah kalah 0-2 dari Korea Selatan. Tim "Der Panzer" dipastikan angkat koper dari Rusia menyusul hasil ini.
2 – This is only the second time that Germany have been eliminated from the First Round at the World Cup having last done so in 1938. Shock. #GER #KOR #KORGER #WorldCup pic.twitter.com/jIZWOlxeEw
— OptaJoe (@OptaJoe) June 27, 2018
Baca juga: Jerman Tersisih, Kutukan Juara Bertahan Piala Dunia Berlanjut
Nah, keserentakan yang sama-sama tak diduga itu pun belakangan memunculkan "pertukaran" potongan fakta dari masing-masing hajatan yang tersambung dalam satu "kesatuan" meme atau ungkapan di kalangan warganet.
"Tim Jerman tersingkir dari Piala Dunia 2018 setelah kalah 0-2 dari Korea Selatan. Skor ini baru hasil perhitungan cepat dan hasil akhir yang resmi harus menanti penetapan KPU."
Bagaimana sebaliknya dengan sudut pandang (angle) pilkada?
"Runner-up Pilkada Jatim akan bertemu juara Pilkada Jabar, dan sebaliknya, di babak selanjutnya."
Ada juga yang menjadikan momen di Piala Dunia 2018 sebagai analogi yang harapannya akan terjadi di arena Pilkada 2018.
Yang sederhana, pemenang pilkada menyambangi lawan-lawannya dan meminta bertukar atribut identitas pencalonan mereka sebagai bentuk penghormatan, laiknya pemain bola dan jersey-nya.
Bukan sekadar guyonan
Sekilas, semua itu terlihat hanya meme, bahan banyolan bin guyonan, bahkan olok-olok.
Namun, bila ditelisik—sebenarnya di-kepo-in—akun-akun yang melontarkan kalimat-kalimat bernada semacam contoh-contoh di atas, ada hal melegakan yang bisa diharapkan dari bangsa ini.
Sekilas saja, terlihat lontaran dari tim pemenang dan yang dikalahkan. Ada pula orang-orang yang selama ini dianggap lekat dengan partai penguasa dan teman-temannya, sebaliknya ada juga yang dari partai oposisi dan kawan-kawan.
Tak kalah banyak, celetukan pun datang dari mereka yang sejatinya apatis dengan praktik politik di negeri ini sampai saat ini.
Lalu, apa hal melegakan yang dapat diharapkan itu?
Dua gelembung besar kubu pendukung yang tak kunjung pecah sejak Pemilu Presiden 2014 sepertinya mulai mengempis secara alami lewat hajatan ini.
Luka dari Pilkada DKI Jakarta 2017 yang dikhawatirkan merembet dan meluas ke Pilkada Serentak 2018—yang terbesar sejak pertama digelar pada 2015—pun tak mewujud nyata. Kalaupun ada, rasanya terlokalisasi dan kasuistis.
Sepertinya, pilkada yang digelar bersamaan di 171 daerah ini mampu membuka mata mereka yang selama ini berkutat hanya di gelembungnya dan menampakkan kenyataan praktik politik Indonesia pada saat ini.
Fakta memperlihatkan, partai-partai yang dituding berseberangan di tingkat nasional atau di wilayah yang menjadi sorotan ternyata berkoalisi juga di wilayah lain. Pilkada Jawa Timur 2018 dapat menjadi salah satu contoh yang paling gampang dilihat.
Di pilkada ini, pasangan petahana didukung oleh partai penguasa, partai oposisi, dan juga partai yang sering disebut sebagai kawan akrab partai oposisi. Satu lagi pengusungnya adalah partai asal sang petahana.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mendeteksi aura dan nuansa yang sama soal mengempisnya dua gelembung besar yang menyesakkan bangsa sejak 2014 tersebut.
"Tensi (Pilkada Serentak 2018) rasanya rendah. Kekuatan di balik gelembung itu terpecah," kata Ismail dalam percakapan renyah lewat telepon, Kamis (28/6/2018).
Ismail Fahmi dan Drone Emprit adalah sepasang "frasa" yang selama ini lekat dengan pemantauan percakapan di dunia maya, baik dari media sosial maupun media massa berbasis digital.
"Indonesia ini dasarnya suka damai. Malah suka yang aneh-aneh. Kalaupun ada yang ramai-ramai, biasanya karena 'digosok' (memakai) peristiwa yang lama," lanjut Fahmi.
"Tanpa perhatian publik, hoaks tak punya daya. Karena ini soal persepsi yang butuh digerakkan keramaian," tegas Fahmi.
Bukannya Pilkada Serentak 2018 ini kerap dikomentari sebagai “pilkada rasa pilpres”? Butuh tulisan dan kajian lebih serius untuk mendudukkan komentar tersebut dalam konteks yang pas.
Namun, semoga kenyataan dari Pilkada 2018 memang menghadirkan hal melegakan tentang pemaknaan yang lebih substansial soal demokrasi dan ke-Indonesia-an.
Sekalipun baru hasil hitung cepat yang mencuat dari Pilkada Serentak 2018, optimisme yang membangun semacam ini boleh dilempar sejak dini, bukan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.