ERA sejak beberapa dekade belakangan disebut sebagai era Pasca-kebenaran. Istilah Pasca-kebenaran (Post Truth) diperkenalkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika menulis tentang perang Teluk dan Iran (1992).
Istilah tersebut dipopulerkan oleh penulis Amerika, Ralph Keyes (2004) dalam bukunya, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life.
Menurut Keyes, dulu kita hanya kenal benar atau palsu, jujur atau bohong. Sekarang kita memaafkan orang yang menambah fakta dengan bumbu kebohongan.
Inilah era ketika fakta dan opini dicampur sehinggga kita tidak tahu lagi mana yang fakta dan mana yang opini.
Di era Pasca-kebenaran, batas antara fakta dan fiksi, jujur dan bohong, serta benar dan palsu menjadi kabur. Peristiwa yang sederhana dan tidak penting dijadikan masalah besar karena dibesar-besarkan.
Era internet pun memperburuk situasi. Kualitas berita dan pesan-pesan diukur dari banyaknya jumlah pengikut dari pembawa pesan. Berita, meskipun tidak benar, menjadi trending ketika diulang-ulang.
Fakta yang disodorkan cenderung negatif dan pesimis karena berita buruk dan dramatis lebih menarik banyak peminat.
Seringkali tidak ada solusi yang ditawarkan. Bila ada, solusi yang diajukan biasanya utopis dan khayalan.
Gelar kesarjanaan, ulama, ustaz, dan gelar-gelar lain menjadi penting guna menguatkan kredibilitas pembawa berita atau pembuat pernyataan.
Resume atau riwayat hidup dilebih-lebihkan, bahkan bila perlu diisi dengan gelar kesarjanaan yang palsu. Medali dan piala yang dibeli di toko dipajang di rumah seakan hasil prestasi.
Rumor dan desas-desus dijadikan bahan dasar utama untuk diolah menjadi warta dan kisah yang panjang dan menarik bak sinetron.
Teori gotak-gatik-gatuk dikembangkan menjadi teori konspirasi yang menggambarkan ada hal yang sangat serius di balik sebuah kejadian yang sederhana.
Di era Pasca-kebenaran ini, kebenaran tidak seluruhnya ditinggalkan, tetapi dibedaki dengan kosmetik bikinan sendiri sesuai dengan tujuan dan selera pembawa berita.
Makin lama, orang makin canggih dan terampil dalam mengolah kebohongan menjadi kebenaran superfisial. Etika menjadi relatif dan dikompromikan.
Untuk membenarkan tindakan bohong, bila perlu nilai-nilai yang kita yakini kita sesuaikan dengan maksud kita. Bohong, menyesatkan, serta menipu musuh dan lawan menjadi barang halal.