Oleh karena itulah, di tahun politik ini semua pihak harus tetap menjaga keseimbangan informasi, jangan sampai dimanipulasi dan dibedaki oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan jangka pendek.
Otoritas terkait, mulai dari kepolisian, komisi informasi, intelektual, tokoh masyarakat, dan banyak lagi, harus bahu-membahu agar ruang publik tidak dibedaki oleh pihak-pihak tertentu yang tujuannya justru untuk merusak kesatuan dan persatuan kita.
Bagaimana tidak, kali ini adalah pilkada terbesar dibanding dua pilkada serentak sebelumnya. Ditambah pula dengan ancang-ancang pilpres setahun setelahnya.
Aneka rupa informasi akan terkait dan dikait-kaitkan dengan pesta demokrasi 2019 tersebut. Calon lokal akan disangkutpautkan dengan calon nasional. Walhasil, informasi akan berjalinkelindan dengan banyak hal, yang sejatinya terkadang tak berkait dengan hajat hidup rakyat banyak.
Yang kita takutkan di tahun politik ini, jika dikaitkan dengan era Pasca-kebenaran tadi, adalah lahirnya informasi-informasi sensitif yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, tapi justru dielu-elukan sebagai kebenaran dan dijadikan senjata untuk kemenangan.
Sebut saja informasi yang berimplikasi SARA dan politik identitas, misalnya, yang hampir pasti akan menjadi bumerang berbahaya bagi kehidupan kerukunan umat beragama dan multikulturalisme kita.
Pragmatisme politik demi kemenangan semata, tanpa memikirkan imbasnya terhadap keharmonisan sosio-kultural, adalah ancaman terbesar bagi persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Tentu bukan tanpa alasan ketakutan semacam itu lahir.
Pilkada Jakarta seolah menjadi pembenaran bagi pihak-pihak tertentu untuk memainkan politik berbau ayat-ayat untuk merenggut sebanyak-banyaknya suara pemilih di daerah.
Mengapa demikian? Karena, sebagaimana tulis oleh Yasraf Amir Piliang, semua ruang atau bidang kehidupan, termasuk agama, sudah dipenuhi berbagai strategi populer yang mendangkalkan kehidupan, termasuk kehidupan beragama.
Banalitas agama, misalnya, telah menciptakan ruang-ruang keagamaan yang berbaur dengan budaya populer dan gaya hidup, bahkan sampai ke sendi-sendi terkecil dunia politik.
Banalitas agama cenderung merayakan aspek-aspek artifisial agama dan meminggirkan yang hakiki dari agama. Agama hanya dihayati kulitnya.
Banalitas seperti itu jelas mudah menggiring orang untuk berpikir sempit. Teks-teks agama yang memihak kepada kemanusiaan, pluralitas atau perbedaaan, justru dipersempit atau ditiadakan.
Memedihkan hati, manakala kita merenungkan bahwa di hari-hari ini orang bisa dengan mudah merusak tempat ibadah orang yang beragama atau berkeyakinan lain atau saling bunuh atas nama agama.
Bahkan yang mengerikan, suara-suara bising penuh amarah pada umat beragama atau berkeyakinan lain, kerap disuarakan justru oleh para tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan.
Pesan kebaikan bahwa kita semua sesungguhnya saudara dalam satu kemanusiaan yang sama, jarang terdengarkan lagi.