Agama justru diselewengkan lewat penafsiran banal sehingga menjadi sumber perpecahan. Bukan rahmat Allah yang dibagikan, tetapi kekerasan, anarkisme, intoleransi dan laknat bagi sesama.
Akibatnya, tempat ibadah pun jatuh menjadi seperti "pasar malam" untuk menyebarkan kebencian pada pihak lain. Surga dijual murah di tangan para pengkotbah yang menyebarkan kebencian.
Malah, kebencian pada umat beragama lain kerap disertai dengan legitimasi seolah-olah hal itu merupakan kehendak Allah sendiri. Bahkan nama Allah pun hendak diklaim sebagai milik dari golongannya sendiri. Seolah Sang Pencipta bisa dikendalikan oleh manusia. Ini jelas amat banal.
Boleh jadi, agama-agama tengah memasuki daerah yang sangat kering baik sebagai personal concern maupun communal community.
Akar masalahnya, agama-agama lebih banyak memberi perhatian pada hal-hal yang artifisial, jauh dari komitmen awal dan sejatinya sebagai sarana humanisasi.
Begitu banyak praktik agama yang justru merendahkan martabat manusia maupun agama, seperti kekerasan, intoleransi, konflik bahkan perang.
Bukan kebaikan yang dilakukan, melainkan keburukan, seperti melukai bahkan membunuh orang lain.
Padahal, sebagaimana dianjurkan Al Quran, penganut agama seharusnya berlomba-lomba berbuat kebaikan dalam menyikapi perbedaan, khususnya perbedaan agama.
"Dan, bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan." (QS Al Baqarah : 148).
Pesan-pesan kebaikan dan kebajikan ini juga ada di banyak kitab suci lain. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.