JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menganggap terdakwa Setya Novanto terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
"Majelis hakim menilai unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan telah terpenuhi menurut hukum," ujar hakim Franky Tambuwun saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/4/2018).
(Baca juga : Menurut Hakim, Setya Novanto Terbukti Memperkaya Diri, Orang Lain, dan Korporasi)
Menurut hakim, Novanto terbukti terlibat sejak awal pembahasan proyek e-KTP. Keterlibatan itu dalam mengkoordinasikan anggaran, serta melakukan pertemuan dengan pihak Kementerian Dalam Negeri dan pengusaha.
Beberapa pertemuan dilakukan di Hotel Gran Melia, rumah pribadi di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan di ruang kerja Novanto di Lantai 12 Gedung DPR, Senayan.
"Tindakan ini bertentangan dengan tugas dan kewenangan selaku anggota DPR dan ketua fraksi Golkar," kata Franky.
(Baca juga : 10 Fakta Persidangan Setya Novanto dan Aliran Uang Korupsi E-KTP)
Menurut hakim, Setya Novanto selaku ketua fraksi Golkar memiliki pengaruh lebih dibanding anggota DPR lainnya.
Novanto berwenang untuk mengkoordinasikan anggota Fraksi Golkar di setiap komisi dan alat kelengkapan Dewan.
Sebagai bukti, menurut hakim, Novanto berhasil meloloskan anggaran e-KTP sebesar Rp 2 triliun pada 2011. Padahal, dalam tahun sebelumnya, permintaan anggaran tidak disetujui DPR.
Hingga berita ini diturunkan, pembacaan putusan masih dibacakan hakim secara bergantian.
Novanto sebelumnya dituntut 16 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Novanto juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 7,4 juta dollar Amerika Serikat terkait kasus korupsi proyek e-KTP.
Apabila menggunakan kurs dollar AS tahun 2010 senilai Rp 9.800, maka uang pengganti itu senilai sekitar Rp 72,5 miliar.
Jaksa KPK juga menuntut pidana tambahan agar hak politik Novanto dicabut setelah menjalani masa pidana.
"Pidana tambahan mencabut hak dalam jabatan publik 5 tahun setelah selesai pemidanaan," ujar Jaksa.
Dalam tuntutannya, jaksa menolak permohonan Novanto untuk memeroleh status sebagai justice collaborator.
Menurut jaksa, Novanto tidak memenuhi syarat sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.