JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik Lingkar Madani, Ray Rangkuti, melihat, larangan mantan koruptor ikut dalam Pemilu Legislatif 2019 mampu memperkuat kepentingan publik dalam pemberantasan korupsi.
Menurut Ray, KPU telah berperan menjaga kualitas demokrasi sebagai pelaksana pemilu.
"Sebab, tujuan pemilu ini bukan hanya menjadikan seseorang sebagai penguasa. Tujuan pemilu itu ke depan untuk memastikan bahwa negara itu dikelola dengan orang-orang baik, bersih, dan antikorupsi," ujarnya di Sanggar Prathivi Building, Jakarta, Kamis (19/4/2018).
(Baca juga: KPU Siapkan Dua Opsi Larangan Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg)
Dengan demikian, larangan itu akan mengunci para caleg untuk bertanggung jawab terhadap kekuasaannya ketika berhasil terpilih.
Ia juga menganggap aturan tersebut membuat penyelenggaraan negara dari tingkat atas hingga tingkat bawah berjalan dengan baik.
"Agar pemilu melahirkan orang bersih dan tepercaya yang mampu mengelola indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari level tinggi sampai bawah, yang berintegritas untuk menciptakan masyarakat adil dan sejahtera," katanya.
Pencabutan hak politik
Ray juga memandang sanksi pencabutan hak politik bisa menjadi peringatan tegas bagi para politisi untuk menjauhi praktik korupsi.
(Baca juga: KPU Tidak Perlu Mundur soal Larangan Mantan Koruptor Jadi Caleg 2019)
Menurut dia, pencabutan tersebut bisa diterapkan jika politisi terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
"Mereka yang melakukan korupsi itu adalah menyangkut kejahatan terhadap hak publik. Nah, apa maksudnya? Rata-rata itu mereka menyalahgunakan kekuasaannya dalam rangka untuk korupsi," kata Ray.
Menurut dia, para mantan koruptor telah mengkhianati hak politik yang telah diberikan oleh rakyat.
Jadi, negara bisa melakukan pencabutan hak itu melalui mekanisme hukum yang berlaku.
(Baca juga: ICW Curiga Banyak Mantan Koruptor Akan Diusung Pada Pileg 2019)
Ia juga melihat, sanksi pidana belum efektif menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Sebab, ada beberapa kasus mantan narapidana korupsi kembali terjun dalam pusaran korupsi.
"Kenyataannya, politisi ini sangat takut sekali kalau hak politiknya dicabut, jadi ada pikiran lebih baik dipenjara 5 tahun daripada hak politiknya dicabut. Dalam pikiran saya, tidak ada mantan koruptor yang betul-betul bertaubat setelah dipenjara," ujarnya.
KPU hingga saat ini tetap bertahan dengan keinginannya melarang mantan koruptor menjadi caleg 2019.
KPU menganggap korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga pelarangan perlu diatur secara tegas dalam peraturan KPU.
Larangan tersebut dapat disebut terobosan karena ketentuan itu tak diatur dalam UU Pemilu.
Seperti dikutip Kompas, KPU menyiapkan dua opsi untuk melarang mantan koruptor maju sebagai calon wakil rakyat.
Opsi pertama seperti yang tertuang dalam Peraturan KPU, yakni bakal caleg bukan mantan terpidana korupsi.
Opsi kedua, melarang mantan terpidana korupsi jadi bakal caleg DPR dan DPRD. Opsi kedua substansinya sama.
Bedanya, subyek hukum di opsi kedua adalah partai politik, bukan para bakal caleg. KPU bisa memahami jika parpol menolak opsi pertama dengan alasan bertentangan dengan UU.
Namun, KPU menganggap aneh jika opsi kedua juga ditolak. Pasalnya, aturan itu masuk ranah parpol untuk merekrut bakal caleg DPR/DPRD.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.