Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/04/2018, 15:46 WIB
Kristian Erdianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menegaskan bahwa rencana pelarangan seorang mantan napi kasus korupsi untuk ikut dalam pemilu legislatif (Pileg) 2019 tidak melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu). Rencananya pelarangan tersebut akan diatur dalam Peraturan KPU (PKPU).

Menurut Wahyu, korupsi merupakan kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Sehingga, KPU perlu mengatur pelarangan tersebut secara lebih tegas melalui peraturan KPU (PKPU) .

"Kami memahami bahwa dalam UU yang dimaksud kejahatan luar biasa itu adalah kejahatan seksual terhadap anak dan narkoba tetapi kita memandang pula bahwa korupsi itu adalah kejahatan yang daya rusaknya luar biasa. Sehingga KPU memperluas tafsir," ujar Wahyu saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4/2018).

(Baca juga: Kalau Capres Tak Boleh Mantan Napi Korupsi, Kenapa Anggota DPR Boleh?)

"Yang semula hanya dua poin yaitu kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba, kami perluas dengan satu norma lagi yaitu korupsi," tuturnya.

Selain itu, Wahyu mengatakan pihaknya memiliki kewenangan untuk menafsirkan suatu ketentuan dalam UU kemudian mengaturnya di PKPU.

Ia mencontohkan saat KPU mengatur soal aksesibilitas pemilu bagi kelompok-kelompok rentan atau penyandang difabel.

Menurut Wahyu, aspek aksesibilitas belum diatur dalam UU Pemilu. Kemudian KPU mengaturnya melalui PKPU agar kelompok difabel memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara lainnya. 

"Dalam pandangan kami, kami meluas tafsir tidak (melanggar UU). Kami ingin mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN," kata Wahyu.

Sebelumnya, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mengungkapkan adanya kekosongan hukum dalam UU Pemilu.

(Baca juga: Larang Eks Napi Korupsi Jadi Caleg, KPU Ingin Pemilu Lebih Dipercaya)

 

UU Pemilu tidak secara jelas mengatur apakah seorang mantan napi diperbolehkan untuk ikut dalam pemilu legislatif (Pileg) 2019. Namun, persyaratan berbeda diterapkan pada calon presiden dan wakil presiden.

"Saya lihat ini ada ruang yang harus diisi, karena dalam UU Pemilu itu pengaturan terkait pembatasan terpidana ini beda-beda. Dalam UU Pemilu kan tidak hanya mengatur anggota DPR, DPRD dan DPD tapi juga mengatur presiden dan wakil presiden," ujar Hadar dalam sebuah diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (13/4/2018).

Pasal 169 hurf d UU Pemilu mengatur salah satu persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden. Pasal tersebut menyatakan bahwa seorang calon presiden atau wakil presiden tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.

Sementara, dalam pasal 240 UU Pemilu, seorang mantan terpidana yang dipidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai caleg selama ia mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana.

(Baca juga: Bahas Larangan Eks Napi Korupsi Jadi Caleg, Mendagri Temui Ketua DPR)

"Lho kok terus tidak ada pelarangan bagi anggota DPR, padahal mereka sama-sama calon pemimpin. Sama-sama pentingnya mereka ini," tuturnya.

Akibat adanya perbedaan syarat tersebut, kata Hadar, KPU sebagai pihak penyelenggara pemilu memiliki kewenangan membuat pelarangan mantan napi korupsi ikut dalam Pileg 2019.

Ketentuan tersebut dapat diatur dalam PKPU agar syarat pencalonan dapat setara dan tidak diskriminatif.

"Itu (PKPU) memang masih perdebatan tapi menurut saya KPU punya kewenangan mengatur. Maka penyelenggara bisa menatanya, mengambil wewenang supaya syarat ini menjadi setara," kata Hadar.

Kompas TV Komisi Pemilihan Umum semakin mematangkan aturan yang melarang mantan narapidana korupsi mengikuti Pemilu Legislatif 2019.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Pemerintah Berencana Terapkan Bebas Visa Kunjungan untuk Turis dari 20 Negara

Pemerintah Berencana Terapkan Bebas Visa Kunjungan untuk Turis dari 20 Negara

Nasional
Hadiri UNFCCC COP Ke-28 Dubai, Pertamina Patra Niaga Perkenalkan Upaya Tingkatkan Ekonomi Nelayan

Hadiri UNFCCC COP Ke-28 Dubai, Pertamina Patra Niaga Perkenalkan Upaya Tingkatkan Ekonomi Nelayan

Nasional
Kader PAN Diduga Joget di Kantor Kemendag, Ketua Bawaslu: Sudah Jadi Perhatian, Sedang Dikaji

Kader PAN Diduga Joget di Kantor Kemendag, Ketua Bawaslu: Sudah Jadi Perhatian, Sedang Dikaji

Nasional
Indonesia Teken Kontrak Pembelian 24 Unit Helikopter Sikorsky S-70M Black Hawk

Indonesia Teken Kontrak Pembelian 24 Unit Helikopter Sikorsky S-70M Black Hawk

Nasional
Beda dengan Jokowi, Ganjar Nilai Pembiayaan IKN Tak Harus Andalkan Investor

Beda dengan Jokowi, Ganjar Nilai Pembiayaan IKN Tak Harus Andalkan Investor

Nasional
Jokowi Minta Penyaluran Kredit ke UMKM Tak Cuma Lihat Agunan, tetapi Juga Prospeknya

Jokowi Minta Penyaluran Kredit ke UMKM Tak Cuma Lihat Agunan, tetapi Juga Prospeknya

Nasional
Transjakarta Ditempeli Stiker Caleg, Bawaslu: Kendaraan Pelat Kuning Tak Boleh untuk Kampanye

Transjakarta Ditempeli Stiker Caleg, Bawaslu: Kendaraan Pelat Kuning Tak Boleh untuk Kampanye

Nasional
Polri Antisipasi Ancaman Teror Saat Libur Nataru 2023/2024

Polri Antisipasi Ancaman Teror Saat Libur Nataru 2023/2024

Nasional
Kubu Anies: Ada Skenario Besar di Balik Ide Gubernur Dipilih Presiden dalam RUU DKJ

Kubu Anies: Ada Skenario Besar di Balik Ide Gubernur Dipilih Presiden dalam RUU DKJ

Nasional
Kejagung Sita 1.062 Gram Emas dan Uang Tunai Rp 76 Miliar Terkait Dugaan Korupsi IUP PT Timah

Kejagung Sita 1.062 Gram Emas dan Uang Tunai Rp 76 Miliar Terkait Dugaan Korupsi IUP PT Timah

Nasional
Sebut 42 Persen Publik Percaya Disinformasi Pemilu, Menkominfo: Jika Tak Diantisipasi, Bisa Lahirkan Polarisasi

Sebut 42 Persen Publik Percaya Disinformasi Pemilu, Menkominfo: Jika Tak Diantisipasi, Bisa Lahirkan Polarisasi

Nasional
Diminta Joget Saat Kampanye di Lampung, Anies: Kalau Ada Gagasan, Tak Perlu Berjoget

Diminta Joget Saat Kampanye di Lampung, Anies: Kalau Ada Gagasan, Tak Perlu Berjoget

Nasional
Disebut Pintar Merangkai Kata, Anies: Lebih Baik daripada Ditanya Diam Terus

Disebut Pintar Merangkai Kata, Anies: Lebih Baik daripada Ditanya Diam Terus

Nasional
Canangkan 12 Kampung KB di Papua Selatan, Kepala BKKBN: Wujudkan Keluarga Kecil Berkualitas

Canangkan 12 Kampung KB di Papua Selatan, Kepala BKKBN: Wujudkan Keluarga Kecil Berkualitas

Nasional
Polri Siapkan Konsep Rekayasa Lalu Lintas Saat Libur Nataru 2023/2024

Polri Siapkan Konsep Rekayasa Lalu Lintas Saat Libur Nataru 2023/2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com