JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, nilai suap yang menjerat hakim Pengadilan Negeri Tangerang terbilang kecil dibandingkan dengan gajinya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kurangnya penghasilan bukan faktor utama korupsi bisa terjadi.
Ia menilai, korupsi dan suap seolah sudah menjadi budaya yang mengakar di dunia peradilan. Padahal, sudah banyak contoh oknum peradilan yang terciduk karena korupsi.
"Ini sangat memprihatinkan. Istilah sehari-hari bisa disebut bebal," ujar Fickar melalui keterangan tertulis, Rabu (14/3/2017), menanggapi operasi tangkap tangan KPK di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
(Baca juga : Kronologi OTT Hakim dan Panitera PN Tangerang)
Fickar mengatakan, Mahkamah Agung sudah mengerahkan berbagai upaya untuk mencegah para hakimnya untuk korupsi.
Gaji hakim sudah besar. Aaturan yang dibuat juga ketat. Ada pula sistem pelayanan terpadu untuk menghindari adanya potensi penyelewengan.
"Sudah berusaha diperbaiki di segala sektor, tetapi manusianya sudah bebal, tidak bisa berubah dan selalu mengulangi perbuatan negatif ini terus menerus, berulang, dan meregenerasi dengan lancar," kata Fickar.
Menurut Fickar, untuk kasus-kasus yang menarik perhatian publik biasanya lebih sulit melakukan cawe-cawe hakim dengan pihak yang berperkara.
(Baca juga : Ekspresi Hakim dan Panitera Pengganti PN Tangerang Saat Ditahan KPK)
Sementara kasus yang ditangani hakim Pengadilan Negeri Tangerang Wahyu Widya Nurfitri merupakan kasus perdata.
Kasus tersebut, kata dia, kurang diperhatikan masyarakat sehingga dengan bebas melakukan suap menyuap tanpa terpantau masyarakat atau media.
"Yang ironis justru banyak dilakukan oleh hakim-hakim senior yang menjelang pensiun," kata Fickar.
Putusan yang akhirnya dibuat hakim pascamenerima suap justru menyebabkan raibnya aset negara karena kasus perdata itu.
Dengan modus perdata, melalui perjanjian, joint venture, sewa dan penguasaan aset, tidak sedikit pihak swasta justru menguasai aset negara melalui putusan pengadilan yang hakimnya menerima suap.
Fickar mengatakan, banyak aset negara BUMN yang raib tak terselamatkan. Ia menyebutkan, aset BUMN besar seperti Pertamina, Pelindo, KBN, dan PT Kereta Api Indonesia berpindah tangan karena putusan pengadilan.
Oleh karena itu, ia meminta Kementerian BUMN mengawasi jangan sampai modus investasi menggerogoti pemilikan aset negara oleh swasta.