Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Oligarki, Ketimpangan Ekonomi, dan Imajinasi Politik Kita

Kompas.com - 07/03/2018, 06:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Untuk memastikan bahwa sepeda menjadi "raja" jalanan, pemerintah membuat kebijakan tambahan. Dia berupa insentif bagi mereka yang bersepeda dan hukuman bagi mereka yang naik mobil atau kendaraan pribadi.

Insentif bagi pesepeda ini bisa berupa hal kecil dan sederhana: parkir yang bisa tepat di depan kantor dan gratis.

Adapun parkir mobil akan jauh dari kantor dan bayar mahal. Hingga pajak mobil yang sangat tinggi dan usia mobil yang beredar di lapangan dikontrol ketat.

Mobil dengan usia di atas 5 tahun akan kena pajak lebih besar dan tidak boleh dipakai keluar rumah pada musim dingin karena dianggap bisa mencelakakan orang lain.

Insentif untuk pesepeda juga berupa tempat parkir sepeda yang banyak di stasiun-stasiun. Namun, parkir untuk mobil di sekitar stasiun hampir tidak ada. Dia harus berjarak cukup jauh dan sangat mahal. Lalu di dalam gerbong kereta, ada gerbong khusus sepeda.

Negara memastikan bahwa orang kaya tidak akan kaya sendirian di sana. Sementara orang miskin tidak akan terlalu miskin sehingga tak bisa hidup.

Itulah landasan filosofisnya. Mereka yang punya uang untuk membeli mobil akan menderita karena harga mobil mahal, dengan pajak tinggi, harga bahan bakar dan biaya parkir yang mahal.

Kendaraan umum sebaliknya, dibuat nyaman, tepat waktu, dan murah. Di Belanda, pelajar tak harus membayar untuk naik bus atau kereta, demikian juga mahasiswa. Seseorang baru harus membayar jika dia telah bekerja.

Lebih jauh, keadilan ekonomi sebagai filosofi diwujudkan dalam kebijakan politik yang paling konkret: pajak progresif. Semakin besar penghasilan per bulan seseorang, semakin besar pajak yang harus dia bayarkan. Semakin kecil, maka semakin sedikit pajak yang mesti ia bayarkan.

Mereka yang bergaji antara 3.000 dan 5.000 euro (Rp 51 juta - Rp 85 juta) per bulan harus membayar pajak 40 persen. Yang menerima lebih dari itu, maka mesti membayar pajak sampai 50 persen atau lebih.

Bagaimana dengan yang miskin yang penghasilannya di bawah standar hidup yang layak? Mereka tak mesti kena pajak, bahkan akan diberi subsidi. Mereka yang tak bekerja mendapatkan subsidi bulanan.

Satu kisah lain tentang seorang tetangga saya. Dia seorang pria tua berusia 72 tahun, tanpa pasangan, tanpa pekerjaan. Tetapi tiap bulan dia mendapat subsidi 1.400 euro (hampir Rp 24 juta). Jumlah itu lebih besar dari beasiswa saya per bulan.

Opa Mida, demikian saya menyapanya, memiliki penyakit jantung. Hingga hampir tiap tahun ia mesti membayar asuransi. Dengan uang subsidinya itu, Opa bisa membayar asuransi bulanan. Dengan asuransi itu pula, dia bisa melakukan operasi jantung yang biayanya jauh lebih mahal dari premi yang ia bayarkan.

Dia bisa membayar sewa rumah dan memenuhi rumahnya dengan perabot yang layak, termasuk TV besar yang berfungsi sebagai home studio. Setiap Selasa, ada serial TV favoritnya yang ia tonton sambil menangis dari sofanya yang empuk. Setiap musim panas tiba, dia selalu liburan ke Roma.

Hal sebaliknya terjadi pada profesor saya, David. Dia seorang profesor dengan penghasilan baik. Istrinya seorang peneliti di salah satu lembaga riset terbaik di dunia.

Namun, ia sering mengeluh karena gaji istrinya habis hanya untuk membayar jasa penitipan anak tiap bulan. Saya perkirakan gaji sang istri berkisar 3.000-4.000 euro per bulan.

Ya, biaya penitipan anak bisa semahal itu untuk mereka. Padahal, saya dan istri hanya membayar 300 euro per bulan untuk penitipan anak kami.

Mengapa demikian? Karena beasiswa kami hanya sedikit di atas standar hidup layak, sehingga berhak untuk mendapat subsidi penitipan anak.

Profesor saya tak punya pembantu karena jelas bahwa jasa pembantu atau baby sitter di rumah akan jauh lebih mahal lagi. Bahkan sepasang profesor pun tak akan kuat membayarnya.

Gaji seorang profesor yang 4.000-an euro (Rp 68 juta) itu sebenarnya cukup tinggi. Tentu saja ini hanya estimasi karena saya tak akan berani bertanya berapa gajinya. Estimasi itu berasal dari iklan lowongan profesor atau peneliti yang biasanya selalu menyebut besar gaji yang ditawarkan.

Jika kita rupiahkan maka dia sekitar 60 juta sebulan. Jika ditambahkan dengan gaji sang istri yang kurang lebih sama, maka akan ada sekitar Rp 100 jutaan sebulan. Namun, tetap saja, mereka tak punya pembantu sebab harga apa saja akan lebih mahal buat mereka. Belum terhitung pajak yang bisa mencapi separuh gaji mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com