Untuk memastikan bahwa sepeda menjadi "raja" jalanan, pemerintah membuat kebijakan tambahan. Dia berupa insentif bagi mereka yang bersepeda dan hukuman bagi mereka yang naik mobil atau kendaraan pribadi.
Insentif bagi pesepeda ini bisa berupa hal kecil dan sederhana: parkir yang bisa tepat di depan kantor dan gratis.
Adapun parkir mobil akan jauh dari kantor dan bayar mahal. Hingga pajak mobil yang sangat tinggi dan usia mobil yang beredar di lapangan dikontrol ketat.
Mobil dengan usia di atas 5 tahun akan kena pajak lebih besar dan tidak boleh dipakai keluar rumah pada musim dingin karena dianggap bisa mencelakakan orang lain.
Insentif untuk pesepeda juga berupa tempat parkir sepeda yang banyak di stasiun-stasiun. Namun, parkir untuk mobil di sekitar stasiun hampir tidak ada. Dia harus berjarak cukup jauh dan sangat mahal. Lalu di dalam gerbong kereta, ada gerbong khusus sepeda.
Negara memastikan bahwa orang kaya tidak akan kaya sendirian di sana. Sementara orang miskin tidak akan terlalu miskin sehingga tak bisa hidup.
Itulah landasan filosofisnya. Mereka yang punya uang untuk membeli mobil akan menderita karena harga mobil mahal, dengan pajak tinggi, harga bahan bakar dan biaya parkir yang mahal.
Kendaraan umum sebaliknya, dibuat nyaman, tepat waktu, dan murah. Di Belanda, pelajar tak harus membayar untuk naik bus atau kereta, demikian juga mahasiswa. Seseorang baru harus membayar jika dia telah bekerja.
Lebih jauh, keadilan ekonomi sebagai filosofi diwujudkan dalam kebijakan politik yang paling konkret: pajak progresif. Semakin besar penghasilan per bulan seseorang, semakin besar pajak yang harus dia bayarkan. Semakin kecil, maka semakin sedikit pajak yang mesti ia bayarkan.
Mereka yang bergaji antara 3.000 dan 5.000 euro (Rp 51 juta - Rp 85 juta) per bulan harus membayar pajak 40 persen. Yang menerima lebih dari itu, maka mesti membayar pajak sampai 50 persen atau lebih.
Bagaimana dengan yang miskin yang penghasilannya di bawah standar hidup yang layak? Mereka tak mesti kena pajak, bahkan akan diberi subsidi. Mereka yang tak bekerja mendapatkan subsidi bulanan.
Satu kisah lain tentang seorang tetangga saya. Dia seorang pria tua berusia 72 tahun, tanpa pasangan, tanpa pekerjaan. Tetapi tiap bulan dia mendapat subsidi 1.400 euro (hampir Rp 24 juta). Jumlah itu lebih besar dari beasiswa saya per bulan.
Opa Mida, demikian saya menyapanya, memiliki penyakit jantung. Hingga hampir tiap tahun ia mesti membayar asuransi. Dengan uang subsidinya itu, Opa bisa membayar asuransi bulanan. Dengan asuransi itu pula, dia bisa melakukan operasi jantung yang biayanya jauh lebih mahal dari premi yang ia bayarkan.
Dia bisa membayar sewa rumah dan memenuhi rumahnya dengan perabot yang layak, termasuk TV besar yang berfungsi sebagai home studio. Setiap Selasa, ada serial TV favoritnya yang ia tonton sambil menangis dari sofanya yang empuk. Setiap musim panas tiba, dia selalu liburan ke Roma.
Hal sebaliknya terjadi pada profesor saya, David. Dia seorang profesor dengan penghasilan baik. Istrinya seorang peneliti di salah satu lembaga riset terbaik di dunia.
Namun, ia sering mengeluh karena gaji istrinya habis hanya untuk membayar jasa penitipan anak tiap bulan. Saya perkirakan gaji sang istri berkisar 3.000-4.000 euro per bulan.
Ya, biaya penitipan anak bisa semahal itu untuk mereka. Padahal, saya dan istri hanya membayar 300 euro per bulan untuk penitipan anak kami.
Mengapa demikian? Karena beasiswa kami hanya sedikit di atas standar hidup layak, sehingga berhak untuk mendapat subsidi penitipan anak.
Profesor saya tak punya pembantu karena jelas bahwa jasa pembantu atau baby sitter di rumah akan jauh lebih mahal lagi. Bahkan sepasang profesor pun tak akan kuat membayarnya.
Gaji seorang profesor yang 4.000-an euro (Rp 68 juta) itu sebenarnya cukup tinggi. Tentu saja ini hanya estimasi karena saya tak akan berani bertanya berapa gajinya. Estimasi itu berasal dari iklan lowongan profesor atau peneliti yang biasanya selalu menyebut besar gaji yang ditawarkan.
Jika kita rupiahkan maka dia sekitar 60 juta sebulan. Jika ditambahkan dengan gaji sang istri yang kurang lebih sama, maka akan ada sekitar Rp 100 jutaan sebulan. Namun, tetap saja, mereka tak punya pembantu sebab harga apa saja akan lebih mahal buat mereka. Belum terhitung pajak yang bisa mencapi separuh gaji mereka.