Menariknya, penghasilan sang profesor ini ternyata tak jauh lebih tinggi dari orang-orang yang di Indonesia menjadi pekerja kelas sangat rendah di sana, seperti cleaning service, pelayan restoran, perawat manula, atau tukang sapu jalan. Gajinya mereka kurang lebih sama.
Mereka dibayar 8-9 euro (Rp 136.000 - Rp 153.000) per jam selama 40 jam seminggu. Maka pengsailannya antara 1.200 dan 1.400 euro per bulan.
Gaji mereka memang tak boleh di bawah 1.200 euro karena 1.150 euro dinyatakan sebagai jumlah biaya minimal bagi setiap orang yang hidup di belanda. Mereka yang bekerja secara legal akan dibayar tidak kurang dari itu per bulan. Jika masih kurang juga, maka negara akan menggenapinya dengan subsidi.
Pada satu perjalanan berkereta, saya bertemu dengan seorang remaja 21 tahunan. Sunny namanya. Dia mengaku baru pulang liburan dari Indonesia. Itulah sebabnya dia suka bercakap-cakap dengan saya yang kebetulan seorang Indonesia.
Selain memuji keindahan Indonesia, dia juga bercerita hal menarik lainnya. Dia jalan-jalan ke Indonesia karena dia baru saja keluar dari tempatnya bekerja selama 2 tahun.
Sunny seorang lulusan SMA. Jadi dia pasti bukan pekerja kerah biru. Namun, dia mampu liburan ke luar negeri dengan gajinya.
Oh ya, dia bilang bahwa setelah bekerja selama dua tahun itu, dia berhak untuk mendapat gaji penuh selama tiga bulan. Dengan gaji 3 bulan inilah dia jalan-jalan ke Indonesia.
Begitulah, di Belanda, setiap orang berhak untuk mendapatkan penghidupan layak, seperti bunyi Pasal 27 Undang-Undang Dasar (UUD) kita.
Di Belanda, fakir miskin, orang jompo, anak-anak telantar, bahkan juga pengungsi dipelihara oleh negara. Seperti amanat Pasal 34 UUD kita.
Seperti sila kelima Pancasila, negara Belanda mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Di sana, menjadi terlalu kaya dibandingkan tetangga sekeliling seakan merupakan sebuah dosa. Negara memastikan hal itu tidak terjadi. Bahkan untuk hal-hal yang sepele sekali. Tidak hanya dengan pajak progresif. Namun termasuk hal kecil lainnya, misalnya bentuk rumah.
Dari tetangga saya yang adalah seorang mantan anggota parlemen dari Partai Buruh, saya tahu bahwa ada hukum yang mengatur bentuk rumah. Saat seseorang ingin membangun rumah, desainnya harus mendapat izin dari negara. Dia tidak boleh terlalu berbeda dari rumah tetangganya.
Dari situ saya tahu, mengapa semua rumah di Belanda mirip satu sama lain. Perbedaan antarmereka yang lebih kaya atau yang biasa saja hanyalah pada interior ruangan dan isi perabotnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jika kita mencermati teori terbaru dalam ilmu politik untuk menggambarkan situasi Indonesia hari ini, maka kita akan bertemu dengan sebuah kata: oligarki.
Kita tahu, secara politik oligarki berarti adanya segelintir orang yang begitu berkuasa sehingga mereka bisa menentukan semua keputusan politik bagi ratusan juta orang lainnya. Secara ekonomi, oligarki merujuk pada keadaan di mana sejumlah kecil manusia menguasai sebagian besar kekayaan bangsa.
Robison dan Hadiz (2013) mendefinisikan oligarki sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya.
Adapun Winters (2013) mendefinikasannya sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya.
Untuk kasus Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh para sarjana itu, segelintir yang berkuasa dari sisi politik ini ternyata adalah orang-orang yang sama dengan mereka yang berkuasa secara ekonomi.
Buah dari ketimpangan penguasaan ekonomi dan politik hari ini adalah dilahirkannya keputusan politik yang semakin memperkaya mereka yang kuat dan semakin memarginalkan mereka yang lemah.
Maka, tidak heran jika Robison dan Hadiz menggambarkan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran karena ia justru dibajak oleh para elit mereka sendiri, yang mereka namai juga sebagai elite predator.