Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Oligarki, Ketimpangan Ekonomi, dan Imajinasi Politik Kita

Kompas.com - 07/03/2018, 06:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Seperti diungkap dalam studi Lim (2011 & 2012), Nugroho (2012), dan Tapsell (2017), media masa kita dikuasai oleh segelintir konglomerat yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Hasilnya adalah tidak ada keberagaman isi (diversity of content).

Media terjebak ke dalam satu dari dua corak. Pada satu sisi, kita menyaksikan media menjadi insititusi yang hanya menjadi corong kekuasaan. Yang pandai memuji dan menjadikan halaman-halaman utamanya, jam-jam tayangnya, menjadi panggung bagi penguasa.

Di sisi lain, kita melihat media menjadi penekan penguasa yang membuat kita mendapat kesan seakan dia telah menjadi oposisi bagi kekuasaan. Namun, ternyata bukan, karena fungsi kritis itu tidak hanya tanpa didasari investigasi berdasarkan kebenaran, tetapi juga segera musnah begitu pemiliknya mendapat bagian dari kue kekuasaan.

Dengan kata lain, sebagaimana diungkap Andres (2016), media hanya menjadi sarana di antara elite politik untuk menjadi penekan kepada kekuasaan untuk keuntungan ekonomi politiknya sendiri.

Media menjadi alat tukar dalam praktik politik dagang sapi. Keduanya tidak banyak berguna bagi terwujudnya demokrasi substantif.

Itu adalah situasi di mana demokrasi telah mampu mengantarkan kita pada pemenuhan hak-hak asasi warga yang meliputi tak hanya hak sipil dan politik, namun juga hak asasi sosial dan ekonomi.

Sementara itu, kita hampir tidak pernah melihat media mengangkat isu struktural ketimpangan ekonomi.

Sebagaimana diangkat dalam studi Steele (2011), potret kemiskinan di media dibingkai sedemikian rupa sehingga yang muncul dalam kesadaran pembaca adalah bahwa kemiskinan itu merupakan akibat dari kemalasan mereka yang miskin.

Kita tahu bahwa di sini terdapat cacat logika yang serius di sini, yaitu blaming the victims. Jika hanya 1-2 orang di Indonesia yang miskin, maka kita boleh percaya bahwa dia mungkin malas.

Namun, jika ada puluhan juta, atau bahkan ratusan juta masyarakat yang miskin sebagaimana diungkap Bank Dunia, maka sudah jelas bahwa struktur politik dan ekonomilah yang melahirkannya.

Di media massa, kita juga tak pernah membaca investigasi atas masalah perpajakan kita, apakah para oligarkh itu memang telah membayar pajak, dan apakah uang pajak telah sampai kembali kepada masyarakat? Atau bahkan apakah lembaga perpajakan kita telah berfungsi sebagaimana mestinya?

Tak pernah kita baca liputan mendalam tentang ini. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan kenyataan bahwa media adalah bagian dari oligark itu?

Imaji bersama

Apa yang mengkhawatirkan dari sebuah bangsa yang dikuasai oligarki? Di atas jelas bahwa oligarki melahirkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.

Selanjutnya, ketimpangan ekonomi tinggi di masyarakat merupakan ancaman karena tidak hanya membahayakan kohesi sosial, tetapi juga membahayakan stabilitas politik dan ekonomi.

Penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa negara-negara dengan distribusi kekayaan yang lebih setara cenderung tumbuh lebih cepat dan lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara yang menunjukkan tingkat ketidaksetaraan yang tinggi.

Sementara itu, sudah lama terdapat konsensus di kalangan ilmuwan bahwa korupsi dan ketidaksetaraan saling berkaitan erat.

Kedua fenomena tersebut berinteraksi dalam lingkaran setan: korupsi menyebabkan distribusi kekuasaan yang tidak merata di masyarakat, yang pada gilirannya diterjemahkan ke dalam distribusi kekayaan dan kesempatan yang tidak setara. (TI, 2017).

Uslaner (2008), misalnya, mengemukakan bahwa akar korupsi terletak pada ketidakadilan ekonomi dan hukum, rendahnya tingkat kepercayaan umum (yang tidak mudah berubah), dan pilihan kebijakan yang buruk (yang mungkin cenderung berubah).

Ketimpangan ekonomi memberikan tempat berkembang biak yang subur untuk korupsi, yang pada gilirannya menyebabkan ketidaksetaraan lebih jauh.

Sama seperti korupsi terus-menerus, ketidaksetaraan dan kepercayaan tidak banyak berubah seiring berjalannya waktu, menurut analisis agregat lintas negara Uslaner.

Dia berpendapat bahwa ketimpangan yang tinggi menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga negara dan pada tingkat korupsi tinggi.

Selanjutnya, tingkat korupsi yang makin tinggi melahirkan ketimpangan yang semakin membesar pula, yang membuat masyarakat terjebak dalam apa yang ia sebuh dengan "perangkap ketimpangan".

Jika hari-hari ini politisi kita mengeluhkan tingginya ongkos ekonomi untuk maju dalam pemilu legislatif, dalam pilkada dan pilpres, lantaran pemilih yang menurut mereka menuntut logisitik, maka elite politik kita perlu melakukan introspeksi: mengapa itu terjadi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Otto Hasibuan Sebut Kubu Anies dan Ganjar Tak Mau Tahu dengan Hukum Acara MK

Otto Hasibuan Sebut Kubu Anies dan Ganjar Tak Mau Tahu dengan Hukum Acara MK

Nasional
Sekjen PDI-P Ungkap Bupati Banyuwangi Diintimidasi, Diperiksa Polisi 6 Jam

Sekjen PDI-P Ungkap Bupati Banyuwangi Diintimidasi, Diperiksa Polisi 6 Jam

Nasional
Menteri ESDM Jelaskan Dampak Konflik Iran-Israel ke Harga BBM, Bisa Naik Luar Biasa

Menteri ESDM Jelaskan Dampak Konflik Iran-Israel ke Harga BBM, Bisa Naik Luar Biasa

Nasional
Jawab PAN, Mardiono Bilang PPP Sudah Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Jawab PAN, Mardiono Bilang PPP Sudah Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
Kubu Anies-Muhaimin: Ada Fakta Tak Terbantahkan Terjadi Nepotisme Gunakan Lembaga Kepresidenan

Kubu Anies-Muhaimin: Ada Fakta Tak Terbantahkan Terjadi Nepotisme Gunakan Lembaga Kepresidenan

Nasional
Tim Hukum Anies-Muhaimin Sampaikan 7 Fakta Kecurangan Pilpres di Dalam Dokumen Kesimpulan

Tim Hukum Anies-Muhaimin Sampaikan 7 Fakta Kecurangan Pilpres di Dalam Dokumen Kesimpulan

Nasional
Pasca-serangan Iran ke Israel, Kemenlu Terus Pantau WNI di Timur Tengah

Pasca-serangan Iran ke Israel, Kemenlu Terus Pantau WNI di Timur Tengah

Nasional
Temui Megawati, Ganjar Mengaku Sempat Ditanya karena Tak Hadiri 'Open House' di Teuku Umar

Temui Megawati, Ganjar Mengaku Sempat Ditanya karena Tak Hadiri "Open House" di Teuku Umar

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Kritik Megawati Ajukan 'Amicus Curiae' ke MK

Kubu Prabowo-Gibran Kritik Megawati Ajukan "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Soal Gibran Ingin Bertemu, Ganjar: Pintu Saya Tidak Pernah Tertutup

Soal Gibran Ingin Bertemu, Ganjar: Pintu Saya Tidak Pernah Tertutup

Nasional
Telepon Wamenlu AS Pasca-serangan Iran ke Israel, Menlu Retno: Anda Punya Pengaruh Besar

Telepon Wamenlu AS Pasca-serangan Iran ke Israel, Menlu Retno: Anda Punya Pengaruh Besar

Nasional
Bakal Hadiri Putusan Sengketa Pilpres, Ganjar Berharap MK Tak Buat 'April Mop'

Bakal Hadiri Putusan Sengketa Pilpres, Ganjar Berharap MK Tak Buat "April Mop"

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Anies-Muhaimin Yakin Permohonan Dikabulkan

Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Anies-Muhaimin Yakin Permohonan Dikabulkan

Nasional
Soal 'Amicus Curiae' Megawati, Ganjar: Momentum agar MK Tak Buat 'April Mop'

Soal "Amicus Curiae" Megawati, Ganjar: Momentum agar MK Tak Buat "April Mop"

Nasional
Ke Teuku Umar, Ganjar Jelaskan Alasannya Baru Silaturahmi dengan Megawati

Ke Teuku Umar, Ganjar Jelaskan Alasannya Baru Silaturahmi dengan Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com