Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Oligarki, Ketimpangan Ekonomi, dan Imajinasi Politik Kita

Kompas.com - 07/03/2018, 06:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tidak heran jika ISEAS, sebuah lembaga riset di Singapura, pada pengujung 2017 mengungkapkan bahwa partai politik (45,8) dan DPR (55,4) merupakan lembaga yang paling tidak percaya oleh masyarakat Indonesia dari 10 institusi publik yang disurvei.

Dari sisi ekonomi, oligarki menghasilkan masalah nyata. Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga riset dunia, Indonesia mengalami problem ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat.

Pada tahun 2017, Oxfam mengungkapkan bahwa satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir separuh (49 persen) kekayaan nasional.

Berikutnya, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin, atau sekitar 100 juta orang.

Dalam satu hari, pendapatan dari bunga orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun.

Dengan catatan itu, tidak mengherankan bila kita dinobatkan sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi keenam tertinggi di dunia.

Sementara itu, survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, mengungkapkan temuan yang kurang lebih sama, di mana ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia.

Menurut survei itu, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand (katadata.co.id, 15 Januari 2017).

Data bank dunia pada 2015 menunjukkan bahwa Indeks Gini Indonesia pada tahun 2000-an semakin memburuk dibandingkan tahun 1990-an, di mana kini Gini Ratio kita ada di kisaran 39,0. Pada 90-an ada di angka 30,0.

Secara sederhana, kita bisa juga menyebut Indeks Gini ini sebagai indeks ketimpangan ekonomi di mana semakin tinggi ketimpangan di suatu negara, maka semakin tinggi Indeks Gini-nya.

Namun, mari kita lupakan statistik. Kita lihat kehidupan kita sehari-hari. Kita sudah terlalu terbiasa melihat ketimpangan di sekeliling kita.

Di Jakarta, kita tahu di belakang gedung-gedung megah pencakar langit di daerah Kuningan dan Thamrin adalah perumahan warga yang sederhana. Dengan gang-gang sempit, sungai yang keruh, dan permukiman tak layak huni.

Kondisi serupa atau bahkan lebih mengenaskan saya dapati ketika saya setahun tinggal di daerah Palmerah. Tak hanya sempit, kotor, dan sungai keruh, banjir pun bisa sewaktu-wkatu datang saat hujan menderas dalam waktu lama.

Bagaimana dengan Semarang? Berbicara tentang Semarang, benak saya segera melayang ke tahun 2000-2004 masa-masa kuliah saya dahulu. Pada tahun 2002 sampai dengan 2004, saya pernah tinggal di pemukiman orang miskin di Genuk Karanglo.

Pemuda di sana tiap hari nongkrong di depan indekos saya. Mereka pengangguran, berwajah preman, kadang mabuk, rambut gondrong, dan banyak tato. Namun, sebenarnya mereka baik hati. Biarpun preman, mereka sangat takut kepada ibunya.

Kini saya tahu, anak-anak muda itu hanya tidak punya pekerjaan. Pada saat itu, pikiran saya yang sempit, melihat mereka sebagai pemuda tak berguna yang malas dan enggan bekerja keras.

Kini, jika saya melihat ke belakang, yang saya lihat adalah wajah-wajah kaum marjinal yang tak tersentuh oleh tangan negara yang sibuk memperkaya kaum elitenya.

Sebagai peneliti media, saya belajar bahwa kawan-kawan saya di Genuk Kranglo itu juga tak bisa menggantungkan nasibnya kepada media.

Seiring dengan adanya krisis representasi pada isntitusi negara formal seperti partai politik dan DPR, kita juga tak bisa berharap banyak kepada media. Tak lain karena para oligarkh juga menguasai media.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com