Analisis data global yang dilakukan Adam membuktikan bahwa demokrasi tak berjalan beriringan dengan kemajuan ekonomi. Hal itu dia buktikan dengan perbandingan data freedom score dari negara-negara demokratis dengan data-data pertumbuhan dalam rentang waktu yang cukup panjang.
George Sorensen pun pernah ada dalam tesis yang sama saat mencoba membandingkan China yang tidak demokratis dengan India yang demokratis. Hasilnya, ternyata China jauh lebih produktif dalam menggenjot pertumbuhan ketimbang India.
Setelah itu, ada banyak pula yang mencoba membantah dengan data yang tak terlalu berbeda. Beberapa di antaranya menemukan kekhilafan dalam pandangan Adam dan kawan-kawannya.
Namun di sini, saya tak berpretensi untuk mengambil posisi teoritik di salah satu pihak karena kita sudah sepakat sejak negara ini lahir bahwa demokrasi adalah dijamin oleh konstitusi. Sehingga apa pun ceritanya, kita harus terus berjuang menyokong bertumbuhkembangnya demokrasi agar terus meninggi kualitasnya di satu sisi, sembari terus pula berjuang untuk menggunakan segala rupa instrumen demokrasi sebagai instrumen-instrumen untuk mengabdi kepada masyarakat, alias untuk terus bergerak bersama membangun daerah dan bangsa.
Dengan tempat berdiri yang demikian, maka saya pun yakin bahwa pilkada adalah salah satu instrumen yang bisa kita perjuangkan sebagai instrumen untuk membangun daerah.
Dengan kata lain, pemimpin yang kurang tepat akan melahirkan proyeksi kemajuan daerah yang kurang menjanjikan pula. Pemimpin yang senang dengan pencitraan, yang tak pernah kelar dengan keistimewaan-keistimewaan pribadinya, akan menumpuk semua energinya untuk pribadinya pula saat terpilih jadi pemimpin. Sehingga, pilkada akan menjadi salah satu entry point yang strategis untuk melihat masa depan kemajuan sebuah daerah.
Oleh karena itu, pilkada semestinya memang bukan sekadar gawean dan kepentingan para elit yang sibuk dengan dirinya saja di daerah, tapi juga gawean dan kepentingan kita semua sebagai orang-orang yang terkait dengan daerah, terutama calon-calon yang berpotensi untuk membangun daerah dengan berbagai kreativitas dan inovasi.
Perkaranya seperti yang saya katakan tadi, pilkada bukan sekadar mempertahankan posisi bagi petahana atau mengganti posisi petahana bagi si penantangnya. Namun lebih dari itu, pilkada adalah soal masa depan daerah, soal masa depan masyarakat daerah lima tahun mendatang, bahkan lebih.
Pilkada bukan saja soal hari H di mana lembaran-lembaran yang bergambarkan kandidat dicoblos di dalam bilik suara, tetapi soal proses awal sampai akhir, sampai pemimpin yang terabik dinyatakan terpilih. Bahkan sampai pemenang pun duduk ditampuk pemimpin daerah, tetap menjadi urusan kita semua di daerah.
Dengan kata lain, segala prosesnya yang bertendensi untuk melahirkan hasil yang salah, harus kita kawal dan rubah. Segala prosesnya yang bertendensi untuk mengingkari aspirasi rakyat daerah di kemudian hari, haruslah kita cegah. Segala proses pilkada harus bermartabat, berintegritas, dan berkualitas, agar hasilnya benar-benar membawa solusi bagi daerah.
Urgensi kepala daerah inovatif
Dengan kompleksitas persoalan yang dialami daerah, tak pelak kehadiran pemimpin baru yang memahami perkembangan dan kebutuhan kekinian rasanya tak bisa ditawar lagi. Apalagi, saat ini kita sudah berada di era revolusi industri 4.0 dan siap-siap menyambut periode bonus demografi yang akan didominasi oleh anak muda dan angkatan kerja produktif.
Oleh karena itu, para calon kepala daerah harus pula benar-benar sensitif terhadap isu segmen milenial dan isu inovasi yang berbasiskan ekosistem ekonomi digital. Ada beberapa hal yang harus diadaptasi oleh kepala daerah untuk menghadapi era baru ini.
Pertama, calon kepala daerah harus menjadikan segala pendekatan inovatif saat merumuskan rencana kebijakan pembangunan daerah. Dalam praktiknya harus mulai mencari celah pemanfaatan teknologi informasi yang berbasiskan ekonomi digital.
Kedua, kepala daerah harus mampu meningkatkan pelayanan publik di daerah dengan berbagai inovasi manajerial dan digital.