JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko S. Ginting berpendapt, pemerintah dan DPR sebaiknya menghentikan seluruh proses sekaligus menunda pengesahan RKUHP.
"Kami mendesak pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP dan membuka kepada publik semua dokumen serta proses perumusan RKUHP agar dapat dicermati dan dikawal lebih lanjut," ujar Miko dalam keterangan pers, Kamis (1/2/2018).
Miko menilai, pembahasan RKUHP mempunyai tiga permasalahan mendasar. "Pertama, penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP menyangkal kebutuhan terpenting dalam sistem hukum yaitu adanya monitoring dan evaluasi ketentuan pidana," lanjut dia.
Miko menjelaskan, sebuah undang-undang, selama ini disusun, disahkan kemudian direvisi lagi dengan penambahan sanksi pidana tanpa melalui monitoring dan evaluasi mengenai efektivitas serta dampak dari pengaturan materinya.
Bentuk monitoring dan evaluasi yang dimaksud dapat dilakukan dengan meneliti penerapan pasal-pasal pidana melalui tuntutan dibuat jaksa penuntut umum dan putusan yang telah ditetapkan oleh hakim.
Baca juga: Menyoal Pasal "Zombie", Pasal Mati yang Hidup Kembali dalam RKUHP
Hal ini akan sangat bermanfaat ketika pemerintah hendak menentukan pola dan besaran ancaman pidana pada suatu tindak pidana.
"Nah tetapi dalam dokumen-dokumen pembahasan RKUHP, sama sekali tidak terdapat argumen penerapan sanksi-sanksi ini berefleksi bagaimana sanksi-sanksi tersebut digunakan dalam praktik," ujar Miko.
Kedua, RKUHP masih mempertahankan pasal yang pernah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku untuk umum (erga omnes).
Contohnya, diatur kembali pasal inkonstitusional, seperti pasal penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP. Ini menunjukkan tidak taatnya penyusun RKUHP pada konsep ketatanegaraan Indonesia.
Baca juga: "Pasal Zina di RKUHP Juga Berbahaya bagi Politisi, tetapi Mereka Tak Sadar..."
Pasal yang dimaksud adalah pasal 264 RKUHP yang berbunyi :
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
"Pasal yang bermuatan sama telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006. Ketidakkonsistenan dalam penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP dengan putusan MK ini merupakan indikasi berikut bahwa RKUHP memiliki permasalahan mendasar," ujar Miko.
Ketiga, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akademik, pembaruan terhadap KUHP seharusnya memiliki misi besar sebagai peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional. Tujuan besarnya adalah dekolonialisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, demokratisasi hukum pidana, dan penyesuaian terhadap perkembangan nasional maupun internasional.
Baca juga: Dalam RKUHP, Penyebar Meme yang Menghina Presiden Bisa Dipidana
Tujuan besar itu hanya dapat dicapai dengan membentuk KUHP yang berorientasi pada perlindungan hak warga negara.
Namun dari RKUHP yang ada hingga saat ini, terlihat bahwa misi untuk melakukan setidaknya demokratisasi hukum pidana belum tercapai.
"Sebab ancaman pidana penjara masih cukup tinggi dan dikedepankan. Meskipun terdapat beberapa jenis pemidanaan baru seperti pidana kerja sosial, ternyata tidak berbanding lurus dengan paradigma pemenjaraan yang masih kental dalam Rancangan KUHP," ujar Miko.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.