JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo soal usulan penjabat gubernur dari perwira aktif Polri.
"Kemarin pernyataannya, ini hal yang biasa-biasa saja karena sebelumnya ada (penjabat gubernur) TNI dan Polri biasa-biasa saja. Hal yang biasa-biasa saja itu dalam konteks apa dulu," kata Titi di kantor Sekretariat Iluni Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (1/2/2018).
Titi beranggapan, usulan perwira aktif Polri duduk sebagai penjabat gubernur tersebut adalah hal luar biasa yang tak bisa dipandang sebelah mata.
"Bagi kami, ini hal yang luar biasa," ucapnya.
Seharusnya, kata Titi, jika Jokowi ingin menjaga demokrasi, yang tak sekadar hanya menyelenggarakan pemilu tiap lima tahun secara berkala, Jokowi ikut aturan main atau UU.
"Kalau kita ingin menjaga demokrasi kita, demokrasi yang tidak sekadar menyelenggarakan pemilu, tetapi punya legitimasi, yang konstitusional dan yang demokratis, ikutilah aturan dengan tidak mengangkat penjabat (gubernur) dari perwira aktif Polri," ucapnya.
(Baca juga: Jokowi: Dulu Ada Penjabat Gubernur dari TNI-Polri, Kenapa Sekarang Ramai?)
Jokowi sebelumnya heran dengan respons publik. Ia mengatakan, mengapa masyarakat baru ramai menyampaikan kritik sekarang.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya juga ada perwira Polri yang ditunjuk sebagai penjabat gubernur.
Jokowi sendiri belum mau berbicara banyak soal polemik perwira polri yang diusulkan menjadi penjabat gubernur itu.
Jokowi beralasan, surat dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait usulan tersebut belum ia terima.
Seperti diketahui, Mendagri mengusulkan Asisten Operasi (Asops) Kapolri Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan menjadi penjabat gubernur Jawa Barat.
Sementara Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Martuani Sormin diusulkan sebagai penjabat gubernur Sumatera Utara.
Keduanya akan mengisi kekosongan jabatan karena masa jabatan dua gubernur di daerah tersebut berakhir pada Juni 2018.
Di saat yang bersamaan, belum ada gubernur baru yang menggantikan karena pilkada di dua daerah itu baru dimulai pada akhir Juni.
(Baca juga: Penjabat Gubernur Diusulkan Purnawirawan TNI-Polri untuk Jaga Netralitas)
Namun, usulan tersebut menuai polemik karena dianggap dapat mengganggu netralitas TNI/Polri di pilkada.
Mendagri beralasan, penunjukan jenderal aktif ini karena wilayah Sumatera Utara dan Jawa Barat memiliki potensi kerawanan jelang pilkada.
Tjahjo memberi contoh, pada Pilkada 2017, ada dua daerah yang dianggap rawan, yakni Provinsi Aceh dan Sulawesi Barat.
Kemendagri saat itu juga menunjuk penjabat gubernur dua daerah tersebut dari kalangan TNI-Polri.
Di Aceh, penjabat gubernurnya adalah Mayjen TNI (Purn) Soedarmo yang menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.
Sementara itu, di Sulbar, penjabat gubernurnya adalah Irjen Carlo Brix Tewu. Saat itu, Carlo menjabat Plh Deputi V Bidang Keamanan Nasional Kemenko Polhukam dan Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam.