JAKARTA, KOMPAS.com - Penyandang disabilitas merasakan adanya aturan diskriminatif mengenai standar kesehatan dalam pencalonan kepala daerah 2018.
Lembaga advokasi untuk hak-hak sipil dan politik penyandang disabilitas, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) pun mendesak Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) untuk merevisi petunjuk teknisnya.
Petunjuk teknis yang dimaksud yakni SK KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Jasmani, Rohani, serta Standar Pemeriksaan Kesehatan Jasmani, Rohani dan Bebas Penyalahgunaan Narkotika dalam Pilkada.
Ketua Umum PPUA Penca Ariani Soekanwo mengatakan, sebenarnya KPU sudah mengakomodasi hak-hak disabilitas, untuk memilih, dipilih, dan menjadi penyelenggara pemilu melalui Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah.
Baca juga : Komnas HAM: Hak Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Agar Diperhatikan
Pasal 4 (2) PKPU 3/2017 menyebutkan, syarat calon mampu secara jasmani dan rohani sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf (e) tidak menghalangi penyandang disabilitas.
"Tetapi tiba-tiba ada petunjuk teknis, di mana di sini pemeriksaan kesehatan dianggap yang paling dominan menentukan untuk lolos menjadi calon," kata Ariani saat menyatakan sikap di KPU, Jakarta, Senin (22/1/2018).
Padahal, lanjutnya, pemeriksaan kesehatan hanyalah salah satu kriteria untuk lolos menjadi calon.
Ada kriteria lain seperti kemampuan dalam melakukan observasi, menganalisis, membuat keputusan dan mengkomunikasikannya, integritas, akuntabilitas, dan kepemimpinan.
"Maka ini kami teman-teman di daerah di Indonesia merasa didiskreditkan, didiskriminasi," lanjut Ariani.
Baca juga : Fasilitas Penyandang Disabilitas di Jalan yang Tak Banyak Diketahui Masyarakat
Ketua I PPUA Penca Heppy Sebayang ada dua poin yang berpotensi menghilangkan atau menggugurkan hak penyandang disabilitas dalam petunjuk teknis KPU, yakni pada Bab II dan Bab V.
Menurut Heppy, penggunaan istilah disabilitas yang dipadankan dengan istilah medik tidaklah benar, dan cenderung menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat.
Disabilitas-medik dimaknai sebagai keadaan kesehatan yang dapat menghambat atau meniadakan kemampuan dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah.
Sedang seharusnya, disabilitas dimaknai sebagai keragaman manusia yang perlu diakomodasi dalam fasilitas dan pelayanan publik secara umum.
"Kami menyampaikan usulan agar KPU segera melakukan revisi terhadap Bab II dan Bab V SK KPU Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 selambatnya 12 Februari 2018," kata Heppy.
Baca juga : Diskriminasi Penyandang Disabilitas Terus Terulang, Komnas HAM Surati Kemenhub
Revisi pada Bab II dilakukan dengan menambahkan aspek selain kesehatan sebagai standar mampu jasmani dan rohani. Sedangkan pada Bab V dilakukan dengan menghapus kewenangan tim pemeriksa kesehatan dalam rapat pleno untuk menyimpulkan hasil pemeriksaan, memenuhi syarat (MS) atau tidak memenuhi syarat (TMS).
"Mengusulkan kepada KPU untuk membuat surat edaran, untuk tidak memberlakukan Bab II dan Bab V petunjuk teknis tersebut, sebelum dilakukan revisi. Agar tidak terjadi pengguguran hak penyandang disabilitas untuk menjadi kepala daerah," kata Heppy.