(baca: Golkar Tunjuk Ade Komarudin Jadi Ketua DPR, Novanto Jadi Ketua Fraksi)
Ade kemudian mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua DPR pada Senin (11/1/2016) siang.
Novanto rebut Ketua DPR
Novanto melawan tuduhan keterlibatannya dalam kasus "Papa Minta Saham" lewat jalur Mahkamah Konstitusi.
Novanto mengajukan uji materi UU ITE terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan.
Rekaman pembicaraan antara Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport ketika itu, Maroef Sjamsoeddin, menjadi bukti yang diajukan Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said.
Menurut MK, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE.
Dengan demikian, rekaman pembicaraan tersebut tidak bisa dijadikan bukti.
(baca: Ini Transkrip Lengkap Rekaman Kasus Setya Novanto)
Fraksi Golkar kemudian mengajukan pemulihan nama baik Novanto kepada MKD.
MKD kemudian menggelar sidang pada 27 Desember 2016 dan memutuskan memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Novanto.
Berdasarkan putusan MK, MKD menganggap proses persidangan perkara tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan putusan etik.
Kursi Ade Komarudin sebegai Ketua DPR kemudian digoyang. MKD memberhentikan Ade dari jabatannya sebagai Ketua DPR.
(baca: Kena Dua Sanksi, Ade Komarudin Diberhentikan sebagai Ketua DPR oleh MKD)
Keputusan itu merupakan sanksi ringan dari pelanggaran etik yang dilakukannya.
Ade divonis bersalah saat memindahkan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat penyertaan modal negara (PMN) menjadi mitra kerja Komisi XI.
Sebelumnya, sejumlah BUMN yang memperoleh PMN tersebut merupakan mitra kerja Komisi VI.
Kedua, Ade divonis melakukan pelanggaran ringan dalam tuduhan memperlambat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan.
Karena melakukan dua pelanggaran ringan, maka hal itu dihitung secara akumulatif sebagai dua pelanggaran sedang.