JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyoroti tren elektabilitas Presiden Joko Widodo yang meskipun naik, namun sangat lambat.
Dalam hasil survei sejumlah lembaga, elektabilitas Jokowi rata-rata masih di bawah atau sekitar 50 persen. Padahal, saat ini sejumlah partai telah mendeklarasikan dukungannya untuk Jokowi sebagai calon presiden di Pemilu 2019.
Partai tersebut adalah Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura. Adapun PDI-P sebagai partai yang menaungi Jokowi, belum secara lisan menegaskan dukungan tersebut.
Dengan dukungan partai yang sudah cukup banyak tersebut, maka tren peningkatan elektoral Jokowi menjadi pertanyaan.
"Ini salah satu tantangan kepada Pak Jokowi dan koalisinya jelang 2019, bagaimana mempercepat progres elektabilitas Pak Jokowi yang meskipun trennya naik tapi lambat," ujar Ray dalam sebuah diskusi di bilangan Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa (26/12/2017).
(Baca juga: Survei Populi Center: Elektabilitas Jokowi 49,4 Persen, Prabowo 21,7 Persen)
Ia menambahkan, pelaksanaan pemilu, khususnya pilkada, secara teknis tak menemui hambatan serius. Permasalahan yang harus diperhatikan adalah tantangan non-teknis yang akan kencang jelang Pilkada 2018 dan akan menguat pada Pemilu 2019.
Hal itu, kata dia, menjelaskan mengapa kenaikan elektabilitas Jokowi lambat. Setidaknya, ada dua tantangan non-teknis tersebut, yakni politik uang dan politik SARA.
"Pada tingkat tertentu, bagi saya politik yang bukan lagi soal kandidat bayar ke orang. Tapi perlu dilacak segera adalah para kandidat mendapatkan uang dari mana," tuturnya.
(Baca juga: Istana Minta Para Menteri Tak Bikin Kebijakan yang Gerus Elektabilitas Presiden)
Di samping itu, isu politik SARA juga bisa menjadi tantangan non-teknis yang perlu diwaspadai Jokowi. Pengalaman pada Pilkada DKI Jakarta, bahaya isu SARA dinilai Ray bahkan lebih bahaya daripada politik uang.
Sebab, dampak politik isu SARA jauh lebih lama dan menyebabkan keterbelahan di masyarakat.
"Kalau di DKI Jakarta, sampai sekarang masyarakat bukan hanya berbeda tapi terbelah. Dan prediksi saya tidak akan berhenti 2018," ujar Ray.
(Baca juga: Elektabilitas Jokowi Dinilai Belum Aman, Cawapres Jadi Faktor Penentu)
Ray menambahkan, lambatnya kenaikan elektabilitas Jokowi bisa saja karena imbas isu politik SARA tersebut. Masih lekat di ingatan bahwa Jokowi kerap dikaitkan dengan komunisme pada Pemilu 2014 lalu.
Menurut dia, Jokowi perlu terus menerus menegaskan bahwa dirinya bukan bagian dari komunis dan bukan orang yang punya orientasi luar biasa terhadap perekonomian China.
"2018 yang akan datang bagaimana mencegah politik SARA di setiap pelaksanaan event politik karena efeknya panjang sekali dibanding politk uang," kata dia.