Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadikan UU MD3 Alasan Mangkir Panggilan KPK, Novanto Dinilai Lakukan Blunder

Kompas.com - 06/11/2017, 15:36 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai Ketua DPR RI Setya Novanto melakukan blunder.

Hal itu terkait langkah Novanto melayangkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa pemanggilan dirinya perlu seizin Presiden.

Dalam surat tersebut, Novanto menyertakan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".

Namun, pada Pasal 245 Ayat (3) huruf c disebutkan bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.

"Korupsi adalah tindak pidana khusus bahkan dilabeli sebagai extra ordinary crime. Jadi tidak ada alasan bagi Ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK," kata Refly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/11/2017).

(Baca: Novanto Dipanggil KPK, DPR Kirim Surat Nyatakan Pemanggilan Perlu Izin Presiden)

Ia menilai, pihak Novanto kurang cermat karena hanya melihat satu ayat pada pasal tersebut.

"Saya kira sangat blunder dan menurut saya staf-stafnya tidak membaca ini secara cermat," sambungnya.

Namun, kata Refly, terlepas dari perdebatan ini, seharusnya Novanto tetap memenuhi panggilan.

Sebab, seorang pejabat publik seperti ketua DPR diharapkan dapat memberikan contoh yang baik bagi publik.

Dengan kejadian ini, Refly menilai publik justru diberikan tontonan yang membuat semua orang tertawa melalui rangkaian kejadian sepanjang proses hukum Novanto.

Salah satunya saat Novanto diberitakan menderita sejumlah penyakit dan dirawat di rumah sakit.

Padahal, pada saat yang bersamaan ia masih berstatus tersangka kasus korupsi e-KTP di KPK.

"Kita tidak bisa menuduh, tetapi rangkaian peristiwa yang disajikan membuat publik bertanya tanya dan tertawa," ujarnya.

(Baca juga: Ini Isi Surat DPR untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto)

KPK memanggil Ketua DPR Setya Novanto, Senin (6/11/2017), untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

Merespons panggilan ini, DPR mengirimkan surat kepada KPK yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin Presiden.

KPK sebelumnya memanggil Novanto untuk diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi bagi Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, salah satu tersangka kasus e-KTP.

Nama Setya Novanto muncul dalam persidangan kasus e-KTP untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong, Jumat (3/11/2017).

Saat itu, jaksa KPK memutar rekaman pembicaraan antara Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem dan Anang Sugiana Sudihardjo.

Dalam rekaman itu, Anang mengaku bertemu dengan Setya Novanto di Vegas. Tidak jelas apakah tempat yang dimaksud adalah Las Vegas di Amerika Serikat.

Dalam kasus e-KTP, KPK sempat menetapkan Novanto sebagai tersangka karena dia diduga terlibat dalam korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.

Novanto kemudian mengajukan gugatan atas penetapan tersangka oleh KPK. Hakim praperadilan, Cepi Iskandar, dalam putusannya menyatakan, penetapan tersangka Novanto dalam kasus e-KTP oleh KPK tidak sah.

Kompas TV Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Golkar Setya Novanto diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus korupsi KTP elektronik dengan tersangka Andi Narogong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Profil Mayjen Dian Andriani, Jenderal Bintang 2 Perempuan Pertama TNI AD

Nasional
Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga Dilarang Beraktivitas hingga Radius 7 Kilometer

Nasional
Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Anies Mau Istirahat Usai Pilpres, Refly Harun: Masak Pemimpin Perubahan Rehat

Nasional
Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Grace dan Juri Jadi Stafsus, Ngabalin Sebut Murni karena Kebutuhan Jokowi

Nasional
Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com