JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menilai, pemerintah bisa menggunakan Undang-Undang Anti-terorisme untuk menindak organisasi kemasyarakatan yang mengancam keamanan negara dan keselamatan masyarakat.
Oleh karena itu, menurut dia, sanksi tegas terhadap ormas tidak perlu dimasukkan dalam Undang-Undang Ormas.
"UU Anti-terorisme. Kita sudah punya," kata SBY dalam jumpa pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Wisma Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2017).
UU Anti-terorisme saat ini tengah dalam proses revisi dan dibahas pemerintah bersama DPR.
SBY mengatakan, sanksi tegas terhadap ormas yang mengancam keamanan negara bisa dimasukkan ke dalam revisi UU tersebut.
Baca: SBY: Alhamdulillah, Pak Jokowi Bersedia Revisi UU Ormas
"Kalau kita merasa belum cukup lengkap UU itu, kita bisa melakukan revisi melengkapi UU yang kita miliki. Bisa dimasukkan di situ," ucap SBY.
Jika tidak melalui UU Anti-terorisme, menurut SBY, sanksi terhadap ormas juga bisa diatur dalam Undang-Undang Kemananan Dalam Negeri.
Menurut dia, cara ini sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, dan Amerika.
Indonesia saat ini memang belum memiliki UU keamanan negara.
"Di masa depan bisa saja. Kalau arah orientasi kita bagaimana mengatur mencegah kelompok organisasi yang bisa membangkitkan radikalisme yang melawan hukum dan juga melakukan kejahatan dan terorisme, tempatnya bisa di situ," ujar SBY.
Baca: Fahri Hamzah Prediksi Akan Banyak Ormas Dibubarkan pada Tahun Politik
SBY mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki UU Subversif.
UU itu diterbitkan Presiden pertama RI, Soekarno, pada tahun 1964 dan terus diberlakukan sampai era Presiden kedua Soeharto.
Pada 1999, UU itu dibatalkan oleh Presiden BJ Habibie karena tidak sesuai dengan semangat reformasi.
"Tentu kita tidak akan hidupkan kembalikan UU Subversif. Tapi kalau negara lain punya UU keamanan negara mereka, bisa saja, tergantung pemerintah dan DPR apakah dimasukkan ke mana, ke UU Anti-terorisme atau pun UU Keamanan Dalam Negeri. Jadi ada beberapa pilihan," kata Presiden keenam RI ini.
Dengan UU seperti itu, lanjut SBY, maka negara bisa mengatur sanksi kepada siapapun yang dinilai melakukan kejahatan terhadap negara, pemberontak, separatisme, terorisme termasuk yang ingin mengganti atau bahkan telah melakukan kegiatan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi dan paham lain.
"Kalau ada kelompok atau organsiasi seperti itu maka sanksi hukum yang tegas harus diberlakukan sebagaimana negara lain mengaturnya dalam UU," kata SBY.
Namun, SBY menilai, tidak tepat apabila sanksi tegas terhadap ormas langsung diatur dalam UU Ormas.
Sebab, hal tersebut berpotensi tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap ormas.
Oleh karena itu, Partai Demokrat mengajukan revisi UU Ormas yang merupakan hasil pengesahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017.
Materi revisi akan difinalkan dalam rapat DPP dan Fraksi Demokrat yang dipimpin SBY hari ini. Ada 3 poin revisi yang akan diajukan kepada pemerintah dan DPR.
Pertama, kewenangan untuk menentukan ormas yang anti-Pancasila tidak boleh ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM.
Kedua, sanksi yang diberikan terhadap ormas yang melanggar tidak perlu sampai menjerat seluruh anggotanya.
Ketiga, harus ada proses pengadilan yang ditempuh dalam proses pembubaran ormas agar berlangsung terukur, objektif, dan tidak sewenang-wenang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.