JAKARTA, KOMPAS.com - Pada pidato pembukaan The 6th Action Asia Peacebuilders' Forum, di Kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2017), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengungkapkan, radikalisme dan ekstremisme di Indonesia cenderung meningkat saat memasuki tahun politik.
Menurut Wiranto, menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, penyebaran ujaran kebencian, propaganda politik dan kampanye hitam melalui dunia maya akan menjadi alat untuk meraih kekuasaan.
"Menjelang 2018 dan 2019, kita akan memasuki tahun politik. Pilkada, pemilu legislatif dan pemilu presiden langsung. Selama itu, radikalisme dalam bentuk ujaran kebencian bercampur dengan propaganda politik dan kampanye hitam akan digunakan sebagai alat meraih kekuasaan," ujar Wiranto.
"Tentunya hal itu mengancam kedamaian dan pluralisme kehidupan masyarakat Indonesia," ujar dia.
Baca: Radikalisme dan Politik Identitas
Wiranto menilai, meningkatnya suhu politik merupakan hal yang wajar karena banyak pihak yang akan berkompetisi.
Para pihak tersebut akan melakukan berbagai upaya agar pasangan calon yang diusung dalam pemilu menjadi populer di tengah masyarakat.
Akan tetapi, seringkali cara-cara yang digunakan tidak terkontrol dengan baik, bahkan melanggar hukum.
"Saya mengatakan hati-hati jangan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang radikal untuk membangun suatu kebencian, membangun kecurigaan, membangun konflik satu dengan yang lain," kata Wiranto.
Terkait hal itu, lanjut Wiranto, pemerintah berharap masyarakat sipil berperan untuk mengantisipasi berkembangnya radikalisme dalam berbagai bentuk.
Ia menegaskan pemerintah sangat terbuka terhadap masukan dari masyarakat untuk menanggulangi radikalisme dan ekstremisme.
Baca: Anies Baswedan Diminta Tak Bermain Politik Identitas
Pernyataan Wiranto tersebut dikuatkan oleh pendapat peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU) Sa'duddin Sabilurrasad.
Menurut dia, tidak dipungkiri politisasi agama kental terasa, terutama pada masa Pilkada DKI 2017 lalu.
"Pada prinsipnya agama memang, terutama dalam pilkada DKI kemarin, dijadikan komoditas politik yang paling kuat," ujar Sa'duddin saat ditemui dalam sebuah diskusi di Megawati Institute, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).