Pasal 5 UU No. 31 Tahun 2014 menyebutkan bahwa korban tindak pidana berhak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus dan berhak bebas dari pertanyaan yang menjerat. Dua hak tersebut belum jelas sehingga membuat norma tersebut tidak aplikatif, terutama bagi korban tindak pidana oleh aparat penegak hukum.
Pertama, di dalam norma, korban berhak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. Namun, pengaturan tersebut tidak menjelaskan siapa yang harus menjalankan, apakah LPSK sebagai lembaga yang menjalankan fungsi perlindungan saksi dan/atau korban atau kah pihak kepolisian sebagai pihak yang menangani perkara pidana.
Dalam hal ini, korban tindak pidana oleh aparat penegak hukum harus melakukan permohonan informasi kepada pihak kepolisian berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 untuk mengetahui perkembangan kasus yang ia laporkan, dengan catatan, prosesnya memakan waktu cukup lama.
Kedua, sulit bagi korban tindak pidana untuk terbebas dari pertanyaan yang menjerat terutama dari kepolisian apabila perlindungan baru bisa diberikan setelah adanya laporan terhadap pihak kepolisian. Dalam melakukan pelaporan, korban aparat penegak hukum mendapatkan pertanyaan yang menjerat ketika melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum.
Ketidakjelasan pengaturan dalam UU No. 31 Tahun 2014 dapat diatur di dalam PerKLPSK. Adapun dalam tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, LPSK perlu memberikan perlakuan khusus atau affirmative action bagi si korban. Misal, korban tersebut tidak harus memberikan surat dari instansi yang menyatakan dirinya merupakan korban tindak pidana.
Dalam hal ini, korban yang dapat membuktikan bahwa dirinya merupakan korban tindak pidana dari aparat penegak hukum bisa langsung memohonkan perlindungan untuk jaminan perlindungan bagi korban apabila nantinya si korban melaporkan suatu tindak pidana ke pihak kepolisian.
Selain itu, apabila dilihat dari perspektif ilmu korban atau viktimologi, tidak mudah bagi korban tindak pidana, terutama terkait dengan kekerasan, untuk mengungkapkan tindak pidana yang menimpa dirinya, terlebih tindakan yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Karena itu, menetapkan STTL ataupun SP2HP sebagai syarat formal memohon perlindungan ke LPSK merupakan obstruksi pencarian keadilan oleh korban kesewenangan aparat penegak hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.