Dalam situasi demikian, maka dalam sistem mayoritarian, meskipun jumlah lembaga yang dikompetisikan banyak, jumlah calon yang ikut pemilihan tetap terbatas.
Seperti di Amerika, dalam satu hari pemilihan bisa saja terdapat pemilihan presiden, senat, DPR, juga gubernur, DPR negara bagian, bahkan wali kota dan dewan kota; tetapi jumlah calonnya tidak banyak, sebab masing-masing lembaga hanya diikuti oleh 2 calon atau paling banter 3 calon.
Itu yang memudahkan pemilih Amerika untuk bersikap rasional, karena cukup membandingkan 2 atau 3 calon untuk setiap lembaga.
Tentu saja hal itu berbeda dengan sistem proposional yang digunakan Indonesia. Untuk memilih tiga lembaga, yakni DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dengan 12 partai peserta pemilu, calonnya demikian banyak.
Paling sedikit 108 calon untuk daerah pemilihan berkursi 3 (minimal) dan 432 calon untuk daerah pemilihan berkursi 12 (maksimal). Ini masih ditambah lagi 20 sampai 30 calon anggota DPD.
Benarkah jumlah calon memengaruhi kecerdasan pemilih Indonesia dalam memberikan suara? Jawabnya bisa dilihat dari hasil pilkada.
Sebagian besar pilkada kabupaten/kota dan provinsi berjalan sendiri-sendiri, sebagian kecil saja yang bareng. Berjalan sendiri atau bareng, jumlah pasangan calon pilkada tetap lebih sedikit daripada jumlah calon legislatif: ada yang cuma 2 pasangan calon, ada juga yang 8 pasangan calon, tapi rata-rata 3 sampai 4 pasangan calon.
Data hasil pilkada pertama (2005-2008) menunjukkan, 40 persen petahana di Jawa dan 60 persen petahana di Luar Jawa tidak terpilih kembali.
Baca juga: Mengenali Pemilu Agar Tak Sebal Melulu
Pilkada kedua (2010-2013) memperlihatkan, 50 persen petahana di Jawa maupun Luar Jawa, sama-sama tidak terpilih kembali. Hasil sementara pilkada ketiga (2015-2017) juga menunjukkan persentase yang hampir sama.
Pertanyaannya, mengapa 50 persen petahana dalam pilkada tidak terpilih kembali padahal mereka memiliki daya dukung besar: populiritas tinggi, modal besar, dan bisa gerakkan birokrasi?
Jawabnya, pemilih cerdas, pemilih yang dapat menggunakan rasionalitasnya dalam memberi suara. Karena jumlah calon sedikit, maka mereka mudah memberikan penilaian dan bersikap: tidak memilih kembali petahana yang kinerjanya buruk dan korup.
Simak dan nantikan selalu Kolom Pemilu oleh Didik Supriyanto di Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.