Segala aspirasi dari masyarakat juga akan terus diserap. Misalnya aspirasi dan kritik soal masih banyaknya kunjungan luar negeri yang berimbas pada redahnya kinerja pembahasan produk legislasi.
Kritik tersebut, menurut Taufik, dapat menjadi masukan saat kelak dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Kami tidak menafikan masukan, aspirasi dari publik untuk bagaimana agar efisiensi pelaksanaan kunker luar negeri lebih efektif lagi," ucap politisi PAN itu.
(Baca juga: DPR Bentuk Panja Prolegnas Prioritas 2017)
Susun prioritas dari prioritas
Peneliti Formappi, Lucius Karus menuturkan, meski pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama dengan pemerintah, namun tak berarti DPR bisa ikut menyalahkan pemerintah atas rendahnya kinerja legislasi.
Sebab, DPR merupakan pemegang kendali dalam mengatur proses pembahasan.
Persoalannya, kata dia, DPR kerap menyusun prolegnas prioritas dalam jumlah yang bombastis. Itulah mengapa dalam satu tahun kerja kerap masih tersisa banyak RUU yang belum terselesaikan.
Di samping itu, Lucius menilai DPR juga kerap mengabaikan syarat soal ketersediaan naskah akademik yang seharusnya sudah tersedia ketika RUU diusulkan dalam prolegnas prioritas.
Hal itu membuat proses pembahasan menjadj tersedot pada proses pembuatan naskah akademik dan penyusunan draf awal.
"Mestinya paket pengusulan sebuah RUU sebelum diakomodasi dalam daftar prolegnas harus sudah menyertakan minimal naskah akademik. Sehingga fokus pembahasan langsung pada penyusunan draf RUU dan pembahasan DIM (daftar inventarisasi masalah)," tuturnya.
(Baca juga: Formappi: Capaian Kinerja Legislasi Belum Gambarkan Totalitas Kerja DPR)
Lucius menambahkan, perlu juga ada pembicaraan ulang mengenai manajemen pembahasan RUU. DPR seharusnya fokus pada isu-isu utama, tak menghabiskan waktu membahas kata demi kata dan pasal demi pasal.
Adapun pembahasan per pasal dan per kata menurutnya dapat diserahkan kepada Badan Keahlian.
"Terkadang rapat pembahasan RUU menjadi bertele-tele karena DPR membahas sampai hal-hal teknis dan berdebat lama pada hal-hal seperti itu," ucap Lucius.
Tahun ketiga seharusnya menjadi puncak kinerja DPR. Hal itu dalam asumsi, dua tahun awal merupakan penyesuaian sedangkan dua tahun akhir para anggota dewan sudah sibuk dengan persiapan pemilu. Namun, hal ini tak terjadi. Lucius pun mengaku pesimistis.
"Jika di tahun puncak saja mereka mandul, bagaimana berharap masih ada capaian luar biasa di dua tahun terakhir jabatan mereka?" kata dia.
Ke depannya, ia menyarankan agar DPR tak lagi menambahkan RUU prioritas baru di 2018 nanti melainkan mengunventarisasi RUU mana yang sudah masuk daftar prolegnas prioritas namun belum dituntaskan.
Pemerintah, kata dia, juga harus ikut bertanggung jawab memastikan RUU yang mereka usulkan segera dibahas. Hal itu juga agar pemerintah tak dituding justru memperlambat proses pembahasan RUU.
"Mereka harus proaktif untuk mengimbangi DPR dalam pembahasan RUU. Jangan sampai pemerintah juga terjebak karena kepentingan politik tertentu hingga ikut-ikutan membuat proses pembahasan RUU menjadi alot," ucap Lucius.