JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Komite Pemilih Indonesia yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Angket KPK, Jerry Sumampouw, menilai bahwa alasan penggunaan hak angket untuk membenahi dan mengawasi KPK, tidak kuat.
Menurut dia, ada mekanisme lain yang bisa digunakan oleh DPR untuk memperbaiki kinerja KPK, yakni Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Konsultasi.
"KPK memang ada kelemahan, saya sepakat ada reformasi atau perubahan, tapi apa harus lewat angket. Semua yang ingin dikemukakan bisa lewat Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Konsultasi. Jadi alasan angket tidak cukup kuat," ujar Jerry dalam sebuah diskusi bertajuk 'Darurat Korupsi: Dukung KPK, Lawan Hak Angket' di Hotel Kartika Chandra, Jakarta Selatan, Jumat (14/7/2017).
Jerry menuturkan, jika DPR ingin mempersoalkan hasil audit pemeriksaan BPK terkait laporan keuangan KPK, maka hal itu bisa dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Kerja.
(Baca: Kelompok "JIN" Dukung Pansus Hak Angket KPK, Apa Alasannya?)
Di sisi lain, kedua mekanisme tersebut dinilai tidak menghabiskan biaya yang besar. Sebab anggaran untuk penggunaan hak angket KPK mencapai Rp 3,1 Miliar.
"Soal audit, Pansus bilangan keuangan KPK tahun 2015 itu bermasalah. Tapi tidak harus lewat angket karena menyedot biaya cukup besar, Rp 3,1 Miliar untuk dua bulan kerja. Masih banyak jalan untuk benahi KPK ketimbang lewat hak angket," tutur Jerry.
Hal senada juga diungkapkan Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Dia tidak yakin alasan penggunaan hak angket sebagai upaya menjalankan fungsi pengawasan dan pembenahan KPK secara kelembagaan.
Menurut dia, kedua alasan tersebut bisa dilakukan oleh DPR melalui mekanisme lain yang lebih sederhana dan tidak memakan biaya besar, yakni Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Konsultasi.
"Ini jadi sangat jelas mereka ingin sebisa mungkin mencegah KPK semakin dekat dengan mereka," tuturnya.