JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasani memaparkan, dari 97 kasus penodaan agama sejak 1965 sampai dengan 2017 (sudah termasuk kasus Basuki Tjahaja Purnama), sebanyak 88 kasus di antaranya terjadi pasca era reformasi 1998.
“Sebanyak 9 kasus terjadi di masa pra-reformasi. Justru pasca-reformasi ’98 kasus ini jumlahnya luar biasa banyak, 88 kasus,” kata Ismail dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Dari 97 kasus itu, sebanyak 21 kasus di antaranya diselesaikan di luar pengadilan dan sebanyak 76 kasus diselesaikan melalui proses pengadilan.
Ismail mengatakan ada banyak penjelasan mengapa kasus penodaan agama justru menguat di masa setelah reformasi. Salah satu penjelasannya yaitu transisi politik di Indonesia yang tidak berjalan normal, sebagaimana teori-teori transisi yang terjadi di banyak negara.
Ismail menjelaskan, secara teori ada dua kecenderungan yang muncul dalam sebuah proses transisi politik.
(Baca: Indonesia Diminta Hapus Pasal Penodaan Agama Saat UPR Dewan HAM PBB)
Pertama, rezim lama akan kembali berkuasa pasca pergolakan satu episode politik. Kedua, rezim baru dengan nilai baru, dengan aktor baru akan mampu mengokohkan pranata bernegara yang baru.
Sementara itu, kata Ismail, yang terjadi di Indonesia adalah munculnya kekuatan ketiga dalam proses transisi politik.
“Kekuatan ketiga ini tidak mempunyai modal politik, selain agama,” kata Ismail.
“Kekuatan ketiga ini justru mereka menunggangi seluruh proses politik demokratis, tetapi untuk mempromosikan nilai-nilai yang bertentangan dengan demokrasi,” lanjut dia.
Siapa mereka?
Ismail menyebut, aktor-aktornya ada di tubuh partai politik hingga pemerintahan.
Bukti aktor-aktor tersebut menyebarkan paham yang betentangan dengan demokrasi tercermin dalam perilaku diskriminatif yang mulai bermunculan.
(Baca: Yusril: Pasal Penodaan Agama Harus Tetap Ada)
Komnas Perempuan menyebut ada 421 Perda diskriminatif yang mendiskriminasi orang atas dasar agama, etnis, gender. Sebanyak 421 regulasi ini, sebut Ismail, adalah bagian dari ekspresi kekuatan ketiga.