"Ya Allah, anaknya enggak ada, tasnya jatuh sendiri. Duitnya ada Rp 750 ribu. Saya ingat memang, dia kalau lagi di salon suka jualan nangka, pepaya dipotong-potong. Sedih inget itu, bikin nangis lagi," kata dia.
Kini, meski peristiwa itu sudah berlalu lama, tapi warga Kampung Jati Selatan, Klender, Jakarta Timur itu masih berharap agar pemerintah bisa segera menuntaskan kasusnya.
Sebab, jika tidak, kesedihan dan kekecewaannya takkan kunjung bisa terobati.
"Jangan lagi-lagi kayak begitu deh. Kalau suami saya banyakan diam. Tapi kalau saya biarpun dihibur kayak apa, kita punya masalah ya enggak bisa, masih kepikiran terus," ungkapnya.
"Harapannya kasusnya, kan kami sudah pada tua, kasusnya bagaimana, enggak diakui pemerintah, yang meninggal di mal itu justru disebut penjarah, kan nyakitin juga. Kepengin saya diselidiki yang bener. Apa-apa bisa sekarang diselidiki, teroris saja bisa dicari ke mana-mana. Masak Tragedi Mei 1998 enggak tahu, biar jelas aja," tuturnya.
(Baca juga: Kisah Pilu Suparman dan Nisan Tanpa Nama Korban Tragedi Mei 1998)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.