Pada putaran kedua, partai politik koalisi terbelah ke dalam Poros Teuku Umar dan Poros Kertanegara (kediaman Prabowo Subianto). Parpol koalisi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang diharapkan bersatu kembali dengan Poros Teuku Umar, ternyata hanya memberi dukungan ”setengah hati” terhadap Basuki-Djarot. Sementara Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan lebih memilih mendukung Poros Kertanegara yang mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang akhirnya memenangi pertarungan panas Pilkada DKI Jakarta.
Faktor kinerja atau politik?
Pertanyaan menggoda yang muncul di balik setiap kali mencuat isu perombakan kabinet adalah benarkah dilatarbelakangi oleh faktor kinerja para menteri, atau lebih karena alasan politik, yakni gesekan politik antara Istana dan parpol pendukung? Tentu Presiden Jokowi yang lebih tahu apa saja faktor di balik rencana perombakan kabinet jilid 3 tersebut. Namun, tidak ada salahnya pula jika kita mencoba mereka-reka pertimbangan yang mungkin menjadi dasar bagi Presiden Jokowi dalam merombak kabinet.
Pertama, faktor kinerja para menteri itu sendiri. Seperti diketahui, Jokowi adalah seorang pekerja keras yang memiliki target tertentu dari setiap program politik yang dicanangkannya serta dalam durasi waktu tertentu pula. Jokowi berharap setiap menteri dapat bekerja dengan standar minimum seperti dirinya, sehingga selama lima tahun pemerintahan yang dipimpinnya ada warisan kerja yang jelas dan terukur bagi bangsa kita.
Jokowi adalah tipikal presiden yang tidak sabar dengan gayabirokratsalon, yakni mereka yang hanya pintarmemberi perintah di belakang meja, tetapi tidak memiliki kapasitas dalam mengontrol hasil kerja mereka, sehingga tidak jelas pula pencapaiannya.
Selain itu, Jokowi tampaknya adalah tipikal presiden yang tidak ikhlas jika setiap sen rupiah dari anggaran negara terbuang percuma hanya karena kinerja para pembantunya yang tidak becus.
Kedua, faktor loyalitas politik. Ini terutama berlaku bagi para menteri yang mewakili partai politik koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Seperti diketahui, setiap parpol koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla memperoleh kompensasi berupa kursi menteri dalam Kabinet Kerja. Kursi-kursi kabinet tersebut tentu tidak gratis. Karena itu, setiap partai politik pendukung pemerintah dituntut agar tetap loyal serta mendukung setiap program politik dan kebijakan pemerintah.
Hanya saja pertanyaannya, apakah perbedaan pilihan partai politik dalam pengusungan pasangan calon dalam pilkada, seperti Pilkada DKI Jakarta yang baru berakhir, termasuk dalam kategori penilaian ”loyal” dan ”tidak loyal” tersebut?
Saya kira, Presiden Jokowi yang memiliki otoritas dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara berhak memberi penafsiran subyektif atas makna dan ruang lingkup ”loyalitas” parpol tersebut. Apalagi, sejauh ini tidak ada kesepakatan tertulis antara Jokowi dan partai politik koalisi, baikmengenai ruang lingkup dukungan politik parpol terhadap Presiden maupun terkait etika berkoalisi. Itu artinya, Presiden Jokowi berhak pula merombak formasi kabinetnya jika secara subyektif merasa ”gerah” dengan manuver politik partai politik pendukungnya.
Dalam kaitan ini kita tidak tahu, apakah manuver politik Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang mensinyalir adanya ”intervensi” Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pencalonan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta, terkait potensi tergusurnya menteri PAN dari Kabinet Jokowi atau tidak.
Ketiga, faktor kemampuan dan kapasitas para menteri dalam membangun kerja sama tim (teamwork) di antara mitra sektoral yang bersifat lintas kementerian. Termasuk di sini adalah passion personal para menteri, apakah sungguh-sungguh memiliki komitmen mewujudkan Indonesia yang lebih baik, atau sekadar ”menjadi menteri” dengan segenap fasilitas pendukungnya. Para menteri dalam sistem presidensial pada dasarnyatidak bisa bekerja sendiri-sendiri karena secara kolektif mereka harus mewujudkan visi-misi dan program politik presiden terpilih. Meskipun sebagian menteri berasal dari partai politik, mereka tidak memiliki mandat politik apa pun karena tanggung jawab politik dan pemerintahan berada di pundak Presiden.
Apa pun pilihan politik Jokowi dalam merombak kembali kabinet harus dilihat dalam konteks otoritas prerogatif Presiden dalam skema sistem presidensial. Hanya saja, sebagai bagian dari elemen masyarakat yang memberi mandat politik kepada Presiden, kita berharap agar perombakan kabinet sungguh-sungguh berorientasi pada percepatan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa kita. Biaya politik yang harus ditanggung bangsa ini terlampau besar jika perombakan kabinet tak lebih dari sekadar prosesi pertukaran kesempatan ”menjadi menteri” belaka.
Syamsuddin Haris,
Profesor Riset LIPI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Merombak Kabinet".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.