PDI Perjuangan harus mencari sosok sekelas Megawati dengan nilai plus usia muda yang mampu menjadi magnet ideologis dan pemersatu di partainya.
(Baca: Ketika Megawati Lelah dan Ingin Pensiun...)
Sebab, rekrutmen kepemimpinan partai politik dihadapkan pada fakta empiris yang menyebutkan, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik sangat rendah.
Tingkat kepercayaan publik bahwa partai politik mampu melahirkan kepemimpinan politik juga tidak berbeda rendahnya.
"Ini gejala yang sebenarnya meresahkan kita bahwa partai itu kelembagaannya belum maksimal. Ini salah satu indikatornya adalah kaderisasi," ujar Hamdi.
Pada praktiknya, partai politik seringkali menggunakan 'jalan pintas', yakni mengabaikan proses rekrutmen dan "membajak" sosok-sosok populer untuk dipasang dalam jabatan strategis.
"Ini gejala presidensialisasi partai politik atau personalisasi partai politik. Artinya partai bergantung pada figur, bukan pada sistem. Sistem melahirkan kaderisasi yang banyak dan sehingga partai punya kadernya sendiri untuk diajukan menjadi calon presiden, misalnya," ujar Hamdi.
Menurut Hamdi, PDI-P juga melakukan hal ini. Meski ada internal PDI-P yang menyatakan bahwa Jokowi adalah kader tulen, namun banyak pula suara yang menyatakan sebaliknya.
"PDI-P mengklaim bahwa Pak Presiden Jokowi sekarang ini adalah kader tulen. Tapi banyak juga yang mengatakan di luar, wah itu bukan kader tulen. Itu kader anak kost istilahnya. Bukan penghuni sejati rumah PDI-P," ujar Hamdi.
Oleh sebab itu, partai politik di Indonesia harus berbenah diri dalam hal rekrutmen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.