DPR dapat berdalih bahwa sosialisasi revisi UU KPK tidak terkait dengan pengusutan kasus korupsi KTP-el.
Namun, sejarah mencatat, revisi UU KPK kerap dijadikan alat politik oleh para elite. Bukan hanya DPR, melainkan juga pemerintah.
Ibarat senjata cadangan, rencana revisi UU KPK sering dikeluarkan sebagai alat "barter" kepentingan pada saat-saat tertentu.
Berdasarkan catatan Kompas, revisi UU KPK muncul di setiap tahun persidangan DPR periode 2014-2019.
Pada 2015, RUU tersebut diusulkan masuk Prolegnas 2015 oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi yang berbeda.
Saat itu, revisi UU KPK ditengarai menjadi poin barter terkait seleksi calon pimpinan KPK yang sempat diproses dengan lambat oleh DPR.
Setelah ada persetujuan antara pemerintah dan DPR bahwa pembahasan revisi UU KPK dikebut, muncul optimisme bahwa uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK segera dilakukan Komisi III DPR.
Namun, saat itu, rencana revisi saat akhirnya batal dibahas (Kompas, 30/11/15).
Pada 2016, revisi UU KPK diusulkan masuk ke dalam Prolegnas 2016. Meski akhirnya disepakati ditunda, rencana revisi UU KPK sempat disebut sebagai "tukar guling" dengan RUU Pengampunan Pajak, yang saat itu sangat dibutuhkan pemerintah untuk meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak.
Dalam kesepakatan tidak tertulis antara pemerintah dan DPR, kedua RUU itu harus bersama-sama dibahas dan disosialisasikan (Kompas, 24/2/16).
Kali ini, pada 2017, di tengah gencarnya KPK membongkar kasus korupsi KTP-el yang diduga juga melibatkan politisi dari sejumlah partai, termasuk Ketua DPR Setya Novanto, wacana revisi UU KPK lagi-lagi berembus dari meja pimpinan DPR. Suatu kebetulan? (Agnes Theodora)