Substansi yang disampaikan kepada publik adalah beberapa pasal yang sebelumnya pernah diusulkan dalam rencana revisi UU KPK pada 2016.
Hanya ada sedikit penyesuaian, seperti pembentukan Dewan Pengawas KPK yang awalnya dipilih Presiden, kini dipilih DPR.
Substansi sisanya serupa, seperti wewenang penyadapan KPK melalui izin Dewan Pengawas, pemberian kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta penyidik KPK diperbantukan dari Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan penyidik pegawai negeri sipil.
Momentum
Sosialisasi revisi UU KPK sebenarnya merupakan kesepakatan pemerintah dan DPR, April 2016 lalu.
Saat itu, disepakati bahwa sebelum merevisi UU KPK, substansi revisi itu harus terlebih dahulu disosialisasikan kepada publik.
Namun, anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, mempertanyakan momentum sosialisasi yang baru dilakukan saat ini, sekitar setahun setelah kesepakatan itu dicapai.
"Mengapa RUU ini baru disosialisasikan sekarang, bukan dari 2016?" tanyanya.
Menurut dia, Baleg sebenarnya telah mengusulkan melakukan sosialisasi sejak pertengahan 2016.
Tim untuk sosialisasi pun telah dibentuk. Namun, tidak pernah ada kejelasan terkait anggaran kegiatan itu sehingga sosialisasi pun tidak jadi dilakukan.
Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo beralasan, hal itu karena DPR sempat mengalami pengalihan kepemimpinan dari Ade Komarudin kembali ke Setya Novanto, pada akhir November 2016.
Menurut Firman, pada awal kembali menjabat, Novanto butuh waktu untuk mengkaji revisi UU KPK. Hasilnya, pada Februari, Novanto bersama pimpinan DPR memutuskan sosialisasi diperlukan.
"Namun, tolong hal ini jangan dikaitkan dengan kasus korupsi KTP-el. Saat sosialisasi revisi UU KPK ini dimulai, Februari lalu, isu korupsi KTP-el belum ramai. Jadi tak ada hubungannya," ujar Firman.
Momentum yang berdekatan antara kasus KTP-el dan sosialisasi revisi UU KPK memang memunculkan banyak spekulasi.
Senjata politik