JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta mencabut hak politik terdakwa mantan anggota Komisi II DPR, I Putu Sudiartana. Pencabutan hak politik berlaku hingga 5 tahun setelah Putu selesai menjalani pidana pokok.
"Majelis berpendapat mengabulkan tuntutan jaksa berupa pidana tambahan untuk mencabut hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik," ujar Hakim Joko Subagyo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/3/2017).
Hakim sepakat sepakat dengan pertimbangan jaksa, di mana Putu merupakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, saat tindak pidana dilakukan. Menurut jaksa, perbuatan Putu telah menciderai tatanan demokrasi dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga politik.
Untuk menghindari terpilihnya wakil rakyat yang tidak berintegritas, maka kepada terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
(Baca: Putu Sudiartana Divonis Enam Tahun Penjara)
Politisi Partai Demokrat tersebut divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Hakim menilai Putu terbukti menerima uang Rp 500 juta dari pengusaha Yogan Askan. Uang itu terkait pengusahaan dana alokasi khusus (DAK) kegiatan sarana dan prasarana penunjang Provinsi Sumatera Barat, pada APBN-P 2016.
"Penerimaan itu atas sepengetahuan dan kehendak terdakwa, untuk menggerakan terdakwa selaku anggota DPR RI untuk membantu penambahan anggaran DAK Provinsi Sumbar," kata hakim Joko Subagyo.
Selain suap, Putu juga dinilai terbukti menerima gratifikasi yang jumlahnya sebesar Rp 2,1 miliar dan 40.000 dollar Singapura. Karena dalam persidangan Putu tidak bisa membuktikan penerimaa itu dari sumber yang wajar, maka penerimaan tersebut haruslah dianggap sebagai suap.