oleh: Agus Muhammad
Hiruk pikuk pilkada putaran pertama yang lalu, DKI betul-betul mengkhawatirkan. Persaingan yang begitu panas tidak hanya di tingkat elite. Di tingkat akar rumput pun terjadi radikalisasi pendukung yang satu sama lain saling menafikan. Tatanan sosial tidak hanya retak, masyarakat pun terbelah.
Ini terutama karena sentimen agama menjadi bagian dari persaingan politik. Akibatnya, logika agama lebih dominan daripada logika politik. Begitu seseorang teridentifikasi memiliki pilihan politik yang berbeda, dia akan dianggap berbeda tidak hanya secara politis, tetapi juga secara teologis meski berada dalam satu agama. Inilah yang membuat masyarakat terbelah.
Situasi ini tentu berbahaya karena keterbelahan tersebut biasanya diikuti oleh stereotip yang makin mempertegas segregasi sosial. Stereotip ini terasa sangat menyesakkan di media sosial. Di dunia nyata pun stereotip ini bertebaran di mana-mana, mulai dari warung kopi hingga ruang-ruang seminar; mulai dari tukang ojek sampai profesor.
Stigma ganda
Ketika hubungan-hubungan sosial didasarkan pada stereotip, persentuhan yang terjadi di antara mereka akan mudah melahirkan ketegangan yang—jika tidak dihadapi secara dewasa—dapatberujung pada konflik terbuka. Pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan memang sangat sensitif terhadap konflik bernuansa agama. Ketakutan pemerintah terhadap konflik yang berbau agama didasarkan pada realitas ketegangan yang selalu muncul sejak Sidang Konstituante.
Ketakutan inilah yang membuat rezim Orde Baru ekstra hati-hati terhadap potensi konflik berbau agama. Pemerintah pada waktu itu sadar betul betapa sensitifnya masalah yang menyangkut perbedaan keyakinan ini di tingkat publik. Itulah sebabnya potensi dan sumber-sumber konflik dijaga sedemikian rupa melalui apa yang dikenal dengan konsep SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Masyarakat tidak boleh membicarakan secara terbuka mengenai asumsi-asumsi etnik ataupun stereotip-stereotip mengenai kelompok lain. Semuanya ditutup dan diselubungi dengan konsep SARA sehingga masyarakat hidup dalam ketidaktahuan satu sama lain.
Melalui segregasi sosial yang diterapkan secara rapi sehingga tampak alamiah, umat yang berbeda agama dipisahkan satu sama lain sehingga komunitas yang berbeda agama tidak saling bersentuhan dan, dengan demikian, ketegangan serta konflik bisa dihindari.
Sampai tingkat tertentu, pemerintah waktu itu berhasil menciptakan ”kerukunan antarumat beragama”. Mereka hidup berdampingan secara damai, tetapi tidak mengerti satu sama lain. Ini tentu kerukunan semu. Mereka rukun bukan karena saling mengerti dan saling memahami, melainkan karena dipaksa untuk hidup rukun. Ketegangan dan konflik antaragama tidak terjadi bukan karena mereka telah hidup dalam saling pengertian, melainkan karena ditekan sedemikian rupa oleh penguasa agar potensi konflik tidak muncul ke permukaan.
Akibatnya, cara pandang masyarakat dipenuhi oleh stigma ganda. Setiap kelompok agama terstigma oleh kelompok agama lain. Latar belakang etnis membuat seseorang yang beragama tertentu mendapat stigma ganda: stigma agama sekaligus stigma etnis. Agama A berkarakter X; etnis B berkarakter Y. Begitu seterusnya. Padahal, stigma lebih sering mencerminkan prasangka ketimbang realitas yang sebenarnya.
Stigma ganda inilah yang melahirkan kecurigaan, kebencian, dan rasa permusuhan. Jika stigma ganda ini terbawa dalam arus persaingan politik—entah sengaja atau tidak—maka kita bisa menduga apa yang akan terjadi. Hanya butuh pemicu kecil untuk menyulut emosi publik.
Regulasi
Emosi publik yang penuh stigma terhadap kelompok yang berbeda pilihan politik tentu harus diantisipasi sebelum berubah menjadi konflik terbuka. Berbagai elemen bangsa harus duduk bersama untuk memastikan bahwa kemungkinan buruk ini tidak terjadi, setidaknya ditekan sekecil mungkin.
Untuk jangka pendek, tiga pihak perlu melakukan berbagai inisiasi, sinergi, dan kerja sama sebagai langkah antisipatif: pemerintah, partai politik, dan ormas. Tugas pemerintah terutama adalah memanfaatkan instrumen pemerintahan hingga tingkat RT/RW untuk membangun sistem deteksi dini yang dapat memantau sekaligus merespons berbagai potensi konflik yang mungkin terjadi di wilayahnya masing-masing.