Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Balik Demokrasi Kebablasan

Kompas.com - 01/03/2017, 16:12 WIB

Oleh: Saurip Kadi

Otokritik dan resep perbaikan tentang demokrasi yang disampaikan Presiden Joko Widodo di Sentul, Bogor, 22 Februari 2017, perlu kita apresiasi bersama.

Dua kata kunci tentang demokrasi yang disampaikan Presiden Jokowi adalah "Demokrasi kita sudah kebablasan dan praktik politik demokrasi kita telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem seperti liberalisme, sektarianisme, fundamentalisme, terorisme, dan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila".

Yang kedua adalah "Aparat hukum harus tegas, jangan ragu-ragu dalam mengatasi demokrasi yang kebablasan".

Pertanyaan yang harus dijawab kita semua adalah apa dan mengapa di balik otokritik tersebut serta bagaimana jalan keluarnya?

Belenggu sistem

Sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mencatat bahwa karena ketergesa-gesaan, founding fathers kita yang duduk dalam BPUPKI dan juga PPKI belum sempat merumuskan batang tubuh UUD sebagai turunan atau jabaran dari Pembukaan UUD 1945.

Nilai-nilai luhur yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, termasuk nilai-nilai Pancasila, belum sempat didiskusikan secara rinci, matang, dan mendalam yang kemudian dijelmakan dalam bentuk rumusan pasal-pasal batang tubuh UUD 1945.

Oleh karena itu, Bung Karno pada 18 Agustus 1945 dalam pengesahan UUD 1945 di depan Sidang Paripurna PPKI menyebut UUD 1945 sebagai UUD kilat, sekaligus berpesan bahwa kelak kalau keadaan sudah tenteram akan memanggil kembali anggota MPR untuk merumuskan UUD yang lebih sempurna.

Memang betul kita telah melakukan empat kali amandemen UUD 1945. Tetapi, amandemen yang dilaksanakan langsung menukik ke pasal-pasal batang tubuh, untuk mengurangi dan membatasi sejumlah kewenangan Presiden, menambah kewenangan DPR, dan secara terbatas memasukkan nilai-nilai demokrasi dan HAM, serta menghapus keberadaan DPA. Akibatnya logika kesisteman diabaikan, nilai-nilai negara otoriter yang terkandung di dalamnya begitu saja dicampur dengan nilai-nilai demokrasi.

Di sisi lain, tata laksananya juga mencampuradukkan antara sistem parlementer dan sistem presidensial yang masing-masing mempunyai filsafat dan logika politik sendiri-sendiri yang secara umum berseberangan satu dengan lainnya.

Bagaimana mungkin presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilu dalam praktiknya bisa disandera partai-partai melalui DPR layaknya sistem parlementer. Padahal, partai semestinya hanyalah penyelenggara atau EO (event organizer). Terus bagaimana logikanya dengan model begini kita berharap akan lahir stabilitas politik, kecuali pemerintahan yang dibentuk sekadar melanjutkan keamburadulan yang ada, dengan kompromi untuk bagi-bagi lapak kekuasaan dan ekonomi di antara elite semata.

Sekadar untuk konsolidasi kekuasaan saja, Presiden Joko Widodo sebagai pendatang baru yang bukan bagian dari "turbulensi" elite Jakarta perlu waktu dua setengah tahun, yang dengan kepiawaiannya, akhirnya bisa menaklukkan lingkaran kekuasaan yang membelenggunya.

Pasungan realitas

Berkat gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang "selalu ada pilihan", tetapi tanpa pernah memilih, secara alamiah muncul semua "borok" dan atau "penyakit" yang diderita NKRI. Residu Orde Baru selama 32 tahun dan 5 tahun era Reformasi berhasil didetoks dalam 10 tahun kepemimpinan SBY.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com