Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemuda Muhammadiyah Minta Ahok Diberhentikan, Apa Jawaban Jokowi?

Kompas.com - 20/02/2017, 12:36 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah menemui Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/2/2017).

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan itu yakni mengenai status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

PP Pemuda Muhammadiyah menilai, status Ahok yang tetap menjabat sebagai Gubernur meski sudah menjadi terdakwa kasus penodaan agama ini menimbulkan kegaduhan di publik.

"Oleh karena itu, kami minta kepada Pak Jokowi untuk sesegera mungkin menonaktifkan Pak Ahok," kata Dahnil seusai pertemuan.

Menanggapi permintaan Muhammadiyah itu, lanjut Dahnil, Presiden Jokowi mengaku akan menunggu pandangan hukum yang resmi, misalnya dari Mahkamah Agung atau Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sebab, Jokowi tidak mau terjebak dengan opini pribadi setiap individu.

Pemerintah sebelumnya sudah meminta fatwa Mahkamah Agung. Namun, MA menolak dan mengembalikan keputusan ke Kementerian Dalam Negeri.

Artinya, pemerintah hanya tinggal menunggu keputusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pemerintah sebelumnya digugat oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) agar segera menonaktifkan Ahok.

"Apabila PTUN menyatakan Ahok harus dinonaktifkan, maka Presiden akan ikut," kata Dahnil.

(Baca: Mendagri Tak Akan Ubah Keputusannya soal Status Ahok)

Menyikapi pendapat MA, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya tidak akan mengubah keputusannya soal mengaktifkan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.

 

"Saya yakin betul, saya mempertanggungjawabkannya kepada Bapak Presiden apa yang sudah saya putuskan belum memberhentikan (Basuki)," ujar Tjahjo.

Menurut Tjahjo, secara aspek yuridis, pembuktian salah atau tidak seseorang hanya dapat ditentukan melalui putusan hakim melalui jalur pengadilan.

(Baca: Mendagri Khawatir Digugat jika Berhentikan Ahok)

 

Sebelum ada putusan pengadilan, menurut Tjahjo, seseorang belum bisa dinyatakan bersalah.

Menurut Tjahjo, Kemendagri berpotensi menerima gugatan apabila memberhentikan atau menonaktifkan kepala daerah yang statusnya belum ditentukan oleh pengadilan.

Menurut Tjahjo, Kemendagri pernah digugat lantaran memberhentikan sementara kepala daerah yang tengah diproses di pengadilan.

Berdasarkan Pasal 83 UU tentang Pemda, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara.

 

Namun, pemberhentian sementara itu berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dakwaan Ahok terdiri dari dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.

 

Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara itu, Pasal 156 a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.

Oleh karena itu, Kemendagri akan terlebih dahulu menunggu tuntutan jaksa mengenai pasal mana yang akan digunakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

Nasional
PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com