Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komisi II Kemungkinan Tolak Calon Komisioner KPU-Bawaslu, Ini Alasannya

Kompas.com - 09/02/2017, 06:48 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

Soal kewajiban KPU konsultasi PKPU ke DPR

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarul Zaman mengatakan, ada alasan lain yang berkembang di internal komisi II terkait kemungkinan penolakan nama-nama calon komisioner KPU-Bawaslu tersebut.

Desas-desus yang berkembang, kata dia, berkaitan dengan uji materi (judicial review) pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi soal kewajiban KPU berkonsultasi dengan DPR dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU).

KPU menganggap aturan dalam UU Pilkada tersebut mengebiri kemandirian mereka sebagai lembaga dalam mengambil keputusan, yaitu membentuk PKPU.

KPU pun melayangkan juducial review, namun hingga kini belum diputus oleh MK.

Mereka yang lolos seleksi calon komisioner KPU merupakan komisioner lama yang mendorong judicial review.

Sementara, yang tak mendukung judicial review tak lolos. Misalnya Ketua Bawaslu, Muhammad. Ia tak mendukung judicial review tersebut dan kebetulan tak lolos seleksi calon komisioner KPU.

Sementara, empat orang petahana komisioner KPU yang mendukung judicial review, masuk dalam daftar calon komisioner.

"Kalau itu betul, saya anggap tidak pantas kalau dibuat persyaratan akhirnya dicoret (dari seleksi). Sebab itu urusan DPR dan pemerintah," ujar Rambe.

"Kalau desas-desus itu benar, itu tidak baik dan tidak elok. Sebab sudah mencampuri bagaimana penafsiran undang-undang," sambungnya.

Meski mengakui bahwa ada persoalan dalam nama-nama calon komisioner KPU-Bawaslu yang lolos, ia tak ingin jika prosedur pergantian komisioner ditunda hingga RUU Pemilu selesai.

"Kan di Pansus 16 orang (Komisi II). Masih ada 34 orang lagi. Harus berkumpul dengan yang 16 ini untuk menentukan sikap yang terbaik," ujar Rambe.

Sementara itu, Anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan, Arif Wibowo mengatakan, penolakan tersebut masih merupakan pendapat pribadi sejumlah anggota Komisi II dan belum menjadi sikap Komisi.

Ia justru menilai tak ada masalah dari nama-nama calon komisioner KPU-Bawaslu yang lolos seleksi.

Mereka juga dianggap tak menyalahi undang-undang atau aturan pelaksana apapun.

"Secara umum enggak ada masalah. Tinggal pilih saja. Tugas anggota-anggota komisi sekarang menelusuri rekam jejaknya, melihat record-nya, pengalamannya, memadai enggak, kompatibel enggak dengan penyelenggaraan pemilu serentak," kata Arif.

Jika ada sejumlah anggota Komisi II yang mempermasalahkan komposisi pansel, kata dia, seharusnya dilakukan sejak awal Presiden membentuk pansel tersebut.

Arif menilai, sebaiknya Komisi II memanggil Pansel terlebih dahulu untuk menjelaskan keseluruhan proses dan hasil dari seleksi yang dilakukan Pansel.

"Kalau mau ribut sebenarnya dulu-dulu. Jangan sekarang," kata dia.

Kemandirian penyelenggara pemilu dipertanyakan

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini melihat ada sejumlah implikasi jika Komisi II menolak nama-nama calon komisioner KPU-Bawaslu tersebut.

Salah satunya adalah, berkaitan dengan independensi penyelenggara pemilu, terutama KPU.

"Publik akan bertanya-tanya. Justru di situlah kemandirian KPU akan semakin dipertanyakan. Karena dari proses seleksi saja sudah terlihat adanya intervensi," ujar Titi.

Titi juga meminta agar MK segera membacakan putusan judicial review yang dilakukan KPU terkait pasal UU Pilkada yang mewajibkan KPU berkonsultasi dengan DPR dalam menyusun PKPU.

Hal itu perlu dilakukan agar aspek peraturan konsultasi KPU tersebut tak menjadi alat politik dalam proses seleksi calon komisioner KPU-Bawaslu di DPR.

"Kalau MK segera mengeluarkan putusan soal uji materi KPU, maka jelas kepastian hukum soal konstitusionalitasnya dan tidak jadi alat tawar politik," kata dia.

"Kan tidak lucu kalau kemudian itu jadi pertimbangan dalam mengangkat atau tidak mengangkat orang. Kan yang kita kehendaki proses seleksi betul-betul mendasarkan pada semangat menjaga kemandirian KPU, profesionalisme, integritas, kapasitas dan kemampuan kepemiluan bukan kepada aspek adaptif atau akomodatif kah pada mekanisme konsultasi yang dikehendaki oleh DPR," papar Titi.

Penolakan atau pembatalan nama-nama calon komisioner KPU-Bawaslu tersebut juga dianggap melanggar hak konstitusional mereka sebagai warga negara karena sudah melalui proses seleksi yang sesuai dengan perundang-undangan.

Tahapan pemilu yang mulai Juni 2017 juga dikhawatirkan terganggu jika komisioner baru KPU-Bawaslu baru disahkan setelah RUU Pemilu rampung.

"Pentingnya untuk melanjutkan proses seleksi agar KPU-Bawaslu memiliki waktu adaptasi yang cukup untuk melakukan pembahasan UU Pemilu. Sehingga ketika RUU disahkan mereka sudah matang dengan kebijakan yang akan disiapkan dalam proses pembahasan ini DPR sudah mencapai kesepakatan-kesepakatan dengan Pemerintah," ujar Titi.

"Ketika disahkan, modal kesepakatan-kesepakatan itu sudah bisa menjadi bacaan bagi KPU dalam menyiapkan tahapaan dan peraturan KPU," lanjut dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Nasional
Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Nasional
Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Nasional
Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Nasional
Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Kemenag Sepakat Proses Hukum Penggerudukan Ibadah di Indekos Dilanjutkan

Nasional
Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Soal Komposisi Pansel Capim KPK, Pukat UGM: Realitanya Presiden Amankan Kepentingan Justru Mulai dari Panselnya

Nasional
PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

PAN Lempar Kode Minta Jatah Menteri Lebih ke Prabowo, Siapkan Eko Patrio hingga Yandri Susanto

Nasional
Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Kaitkan Ide Penambahan Kementerian dengan Bangun Koalisi Besar, BRIN: Mengajak Pasti Ada Bonusnya

Nasional
Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Membedah Usulan Penambahan Kementerian dari Kajian APTHN-HAN, Ada 2 Opsi

Nasional
Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Zulhas: Indonesia Negara Besar, Kalau Perlu Kementerian Diperbanyak

Nasional
Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Menag Cek Kesiapan Hotel dan Dapur Jemaah Haji di Madinah

Nasional
Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Usung Bima Arya atau Desy Ratnasari di Pilkada Jabar, PAN Yakin Ridwan Kamil Maju di Jakarta

Nasional
[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

[POPULER NASIONAL] Mahfud Singgung soal Kolusi Tanggapi Ide Penambahan Kementerian | Ganjar Disarankan Buat Ormas

Nasional
Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com