JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengatakan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia harus menjadi fokus perhatian.
Harapan itu disampaikan Trimedya lantaran masalah pelanggaran HAM kerap tertutup isu lain. Misalnya, saat ini tertutup isu dugaan penyadapan yang bergulir pascapersidangan kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Fraksi Demokrat di DPR menggulirkan wacana penggunaan hak angket lantaran merasa Ketua Umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono disadap.
"Saya sih sebenarnya, daripada kita bicara soal penyadapan, hak angket, lebih baik bicara ini. DPR harusnya lebih fokus selesaikan ini," kata Trimedya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (3/2/2017).
"Pemerintah juga harus fokus menyelesaikan ini," sambung politisi PDI Perjuangan itu.
(baca: Polemik Rencana Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi)
Selain sudah menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai, penyelesaian kasus pelanggaran HAM kini tengah melahirkan polemik terkait jalur penyelesaiannya.
Pemerintah cenderung akan memilih jalur rekonsiliasi atau non-judicial.
Pilihan sikap politik pemerintah itu bertentangan dengan keinginan sejumlah pihak dan aktivis HAM yang mendorong agar kasus ini diselesaikan lewat jalur hukum.
Trimedya menyarankan agar semua pihak terkait duduk bersama untuk secara konkret mencari penyelesaian kasus-kasus tersebut.
(baca: Fahri Hamzah Dukung Upaya Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi)
Menurut dia, pada 2016 cenderung tak ada pergerakan signifikan dalam penyelesaian kasus HAM masa lalu. Ia berharap 2017 membuka titik terang penyelesaiannya.
"Bukan rekonsiliasinya yang penting, tapi kasus ini diselesaikan dulu. Itu mau yang mana dulu kita ambil," ujar dia.
"Paling tidak rakyat melihat ada keseriusan pemerintah Jokowi-JK pada tahun ketiga ini untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM," pungkasTrimedya.
Dalam rapat yang dilakukan beberapa hari lalu di kantor Kemenko Polhukam, Wiranto dan Komisioner Komnas HAM memutuskan penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (kasus TSS) melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi.
Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan sikap politik pemerintah saat ini.
Imdadun mengaku sulit untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc.
(baca: Dikecam, Penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi lewat Rekonsiliasi)
Selain karena pilihan politik pemerintah, selama ini pihak Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
"Kami memang mendorong jalur yudisialnya, tetapi kalau kemudian Kejaksaan Agung-nya tidak kooperatif terus, apa yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM? Karena kalau penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik," kata dia.
Imdadun mengatakan, dengan keadaan politik saat ini, sulit jika upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya mengandalkan satu opsi.
Adapun Wiranto mengatakan, pemerintah menginginkan adanya bentuk penyelesaian kasus HAM masa lalu tanpa menimbulkan masalah baru.
"Bangsa ini sudah terlalu berat untuk bersaing dengan bangsa lain, terutama dalam situasi sekarang ini, jangan sampai kita menambah masalah ini untuk memberikan tekanan kepada pihak pemerintah dan bangsa Indonesia yang sedang berjuang," ujar Wiranto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.