Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Patrialis Tertangkap, Kesan MK Tak Pro Pemberantasan Korupsi Menguat

Kompas.com - 27/01/2017, 19:34 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun menilai, tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkuat kesan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi.

Kasus serupa pernah menimpa mantan hakim MK Akil Mochtarl. Akil ditangkap terkait suap penanganan sengketa pilkada. Sampai tingkat kasasi, Akil divonis bersalah dengan hukuman seumur hidup.

Selain itu beberapa putusan MK juga dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi.

(Baca: Basuki Sebut Beri Uang ke Kamaludin untuk Patrialis Pergi Umroh)

"Saya melihat kasus Patrialis memperkuat kesan MK tidak pro pemberantasan korupsi beberapa putusan MK bahkan menghambat misalnya soal perluasan obyek praperadilan," ujar Tama saat memberikan keterangan di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2017).

Menurut catatan ICW sejak tahun 2015 setidaknya ada lima putusan MK yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi. Pertama, terkait perluasan objek praperadilan.

MK mengabulkan permohonan uji materi pasal 77 huruf a KUHAP yang memperluas objek praperadilan.

Melalui putusan tersebut, MK menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek permohonan praperadilan.

Sebelumnya obyek praperadilan hanya tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan.

Kedua, terkait pembatalan agar pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.

Dengan demikian mantan narapidana dapat mengikuti pilkada. Pada Desember 2015, MK mengabulkan permohonan Anna Boentaran, istri Djoko Tjandra, buronan dalam perkara korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali.

Dalam putusannya MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Kemudian pada 7 September 2016, MK mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran 'pemufakatan jahat' yang diajukan oleh Setya Novanto.

(Baca: MK Bentuk Majelis Kehormatan Dalami Dugaan Pelanggaran Patrialis)

MK menyatakan khusus istilah 'pemufakatan jahat' dalam pasal 88 KUHP tidak dapat dipakai dalam peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Putusan MK yang terbaru terkait pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, di mana MK menyatakan tindak pidana korupsi harus memenuhi adanya kerugian negara yang nyata.

"Putusan itu akan menghambat penyidikan perkara korupsi. Banyak perkara tertunda karena harus menunggu proses perhitungan potensi kerugian negara. Diantaranya adalah kasus dugaan korupsi dalam proyek E-KTP," kata Tama.

Sebelumnya, KPK menetapkanPatrialis Akbar sebagai tersangka. Patrialis disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging.

Suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tengah ditangani MK. Menurut KPK, Patrialis menjanjikan BHR, seorang importir daging, akan membantu agar uji materi tersebut dikabulkan MK.

Kompas TV Inilah Sosok Tersangka Hakim Konstitusi Patrialis
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Nasional
Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Nasional
Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com