Keserentakan pemilu presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif ini adalah perubahan desain pemilu kita yang harus diantisipasi dengan bijak secara politik dan hukum. Serentaknya pemilu presiden dan anggota legislatif akan terjadi lebih awal di tahun 2019, dan baru akan serentak seluruhnya dengan kepala daerah lima tahun kemudian di tahun 2024.
Serentaknya pilpres dan pileg adalah konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013, yang pada intinya memutuskan konstitusionalitas pelaksanaan Pilpres dan Pileg jika dilaksanakan bersamaan, dan baru dimulai sejak tahun 2019.
Pertarungan dua tahun ke depan
Bagaimana pengaturan UU Pilpres dan Pileg sebagai dasar pelaksanaan pemilu yang serentak itu, adalah pertarungan yang akan menghangat dan mewarnai politik hukum kita pada rentang waktu dua tahun ke depan.
Sebagaimana perdebatan legislasi pemilu sebelumnya—utamanya yang menyangkut syarat calon pilpres—akan terjadi pertarungan alot di antara kekuatan politik di tanah air.
Saya menduga, karena waktunya yang sudah mepet, dan undang-undang tersebut idealnya sudah selesai paling lambat setahun sebelum 2019, agar KPU punya waktu cukup untuk mempersiapkan, maka waktu setahun sejak 2017 hingga 2018 adalah masa sangat singkat dimana Presiden dan DPR (bersama DPD) harus menyelesaikan aturan pemilu serentak Pilpres dan Pileg 2019.
Mari sama-sama kita pastikan dan kawal agar kepentingan politik yang mempersiapkan aturan pemilu serentak 2019 itu tetap sejalan dengan tujuan bernegara kita yang demokratis, dan wajib tidak koruptif.
Setelah pileg dan pilpres yang serentak di tahun 2019, lima tahun kemudian kita akan melihat pilkada juga akan serentak di November 2024, meskipun berbeda bulan dengan pilpres dan pileg. Selanjutnya pilpres, pileg dan pilkada akan terus serentak berlangsung setiap lima tahun.
Baru pada saat itulah, siklus politik Pilgub Jakarta yang dua tahun lebih awal dari Pilpres akan berakhir. Yang pasti, tantangannya berubah menjadi bagaimana siklus pilkada nasional dan lokal yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia itu akan terus menghangatkan dinamika politik di tanah air setiap lima tahunan.
Melaksanakan serentak Pilpres, Pileg dan Pilkada di lebih dari 500 daerah tentu adalah tantangan yang tidak ringan bagi jajaran penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP), dan aparat keamanan (Polri), bahkan boleh jadi pertahanan (TNI).
Untuk itu, tidak hanya pemerintah dan penyelenggara negara lainnya yang harus bekerja keras mempersiapkan sistem pemilu serentak, namun kita sebagai warga negara juga perlu ikut mengawal agar proses legislasi aturan kepemiluan itu menghasilkan perundangan yang demokratis.
Kematangan berdemokrasi
Kembali ke dinamika Pilgub 2017 dan Pilpres 2019 yang ada di depan mata kita. Saya mencatat, bahwa kematangan kita berdemokrasi secara terhormat dan bermartabat terus menghadapi ujian, terlebih di era digital dan maraknya media sosial. Yaitu masa dimana informasi sudah sulit untuk difilter, karena dengan mudah diterima langsung, tanpa sekat oleh para pengguna gadget (gawai).
Tantangan yang tidak ringan itu sudah muncul embrionya sejak Pilpres langsung di tahun 2004 dan 2009. Namun, skalanya meningkat tajam ketika kita melaksanakan Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.
Kita memang relatif berhasil melewati ujian Pilpres 2014 yang memunculkan pembelahan sangat tajam di antara dua kubu pendukung pasangan capres. Namun, kita semua juga merasakan bahwa sisa-sisa pertarungan Pilpres 2014 itu masih terus mewarnai dinamika politik kekinian.