Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Berebut Suara Mereka yang Diam

Kompas.com - 08/12/2016, 15:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

KOMPAS.com - Pasca-Orde Baru, Pemilu 1999 adalah pesta demokrasi yang fenomenal jika dilihat dari sisi peserta dan partisipasi, meski dalam dua pemilu berikutnya justru terus turun secara signifikan jika melihat jumlah golput (tidak memilih). Hal serupa terjadi pada Pilkada pada umumnya.

Sejumlah faktor yang mempengaruhi meningkatnya angka golput dalam pemilu antara lain, masyarakat yang sudah putus asa dan kecewa dengan pemerintah, masyarakat yang apatis terhadap pemerintah, masyarakat tidak mendapatkan figur yang cocok untuk dipilih dan menjadi harapan, menganggap golput sebagai sikap memprotes pemerintah, dan adanya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan dan bersifat penting.

Jika Pilkada DKI dianggap sebagai barometer politik daerah bahkan bagi Indonesia, maka fase perbaikan saya catat terjadi pada Pilkada 2012 ketika mempertemukan calon gubernur petahana Fauzi Wibowo dan penantang Joko Widodo (Jokowi). Adanya harapan baru membuat angka golput mengalami penurunan.

Setidaknya, prediksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI pada 2013 tentang golput yang akan terus meningkat tidak terbukti dalam Pemilu 2014. Sebaliknya, tingkat partisipasi masyarakat pemilih secara signifikan meningkat, meski belum mampu menyaingi Pemilu 1999 dan 2004.

Lalu bagaimana dengan Pilkada DKI yang tinggal dua bulan jelang pemilhan 15 Februari 2017? Tentu ini hal menarik, jika melihat besarnya energi yang tercurah pada Pilkada DKI. Praktis seluruh partai bekerja keras, perhatian media pun dipaksa fokus pada Jakarta.

Hampir serupa dengan Pilkada DKI tahun 2012 yang penuh drama, episode Pilkada DKI tahun 2017 dengan bintang gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini jauh lebih seru berkat, meminjam istilah Ariel Heryanto, cara berpolitiknya yang telanjang.

Alhasil, akibat lontaran verbal Ahok, tak hanya partai-partai yang lintang pukang mengimbangi tingkah polahnya, rakyat kebanyakan hingga, maaf saja, Presiden pun harus turun tangan meredam akibat yang ditimbulkannya.

Pada sisi lain, ada hal menarik dari setiap drama yang dihadirkan dalam Pemilu atau Pilkada yang linear dengan daya tarik masyarakat untuk memberikan suaranya. Artinya, semakin dramatis narasi yang terbangun, simpati publik akan berlipat.

Simak saja Pemilu 2004 yang menampilkan kisah Susilo Bambang Yudhoyono yang teraniaya dan Pemilu 2014 yang menampilkan drama rivalitas capres Prabowo vs Jokowi. Narasi yang bahkan sanggup memaksa para undecided voters terpanggil untuk menentukan pilihan.

Harap dicatat undecided voters berbeda dengan golput. Undecided voters adalah pemilik suara yang masih bisa dipengaruhi dengan perlakuan komunikasi (communication treatment) dan program. Sementara yang golput adalah orang yang sejak awal memang memilih untuk tak memilih di pemilu.

Boleh dibilang, undecided voters adalah mereka yang memilih diam. Dalam survei atau polling yang biasa dilakukan tim sukses calon atau independen, golongan undecided voters terekam sebagai yang belum memilih atau merahasiakan pilihan. Mereka inilah yang kerap disebut sebagai swing voters.

Dalam catatan saya, dari lima lembaga survei yang telah merilis jajak pendapat mereka pada bulan Oktober dan November maka undecided voters selalu bergerak stabil pada kisaran 20 persen. Artinya, pertarungan ketiga calon masih sama kuat hingga saat ini dan ketiganya masih harus bekerja keras mempengaruhi undecided voters yang memilih diam namun sangat menentukan.

 Atas-bawah

Sebagai fenomena politik undecided voters adalah hal yang umum. Untuk di Indonesia, sejauh ini statistik undecided voters relatif stabil akibat kegagalan banyak partai melakukan pengkaderan dan penyebaran ideologi.

Umumnya undecided voters berusia antara 20-29 tahun (15-16 persen dan di atas usia 50 tahun (kisaran 20 persen). Sementara dari sisi pendidikan, sekitar 20 persen undecided voters lulus SD atau di bawahnya, sedangkan tamatan SMP dan SMA ada di kisaran 15 persen, dan pernah kuliah kurang dari 20 persen.

Dari sisi pendapatan, mayoritas undecided voters berpendapatan Rp500.000-Rp 1 juta berjumlah, sementara yang berpendapatan di atas Rp 2 juta jumlahnya di atas 10 persen. Meski demikian, tak menutup kemungkinan undecided voters adalah mereka yang berpendidikan tinggi yang memiliki masalah dengan teknis waktu pemilihan.

Jika melihat profil mayoritas undecided voters, bisa dibilang mereka adalah pekerja sektor informal Jakarta yang diakui atau tidak telah menikmati secara langsung perubahan birokrasi di masa Ahok. Sebut saja kegesitan layanan administrasi, Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).

Dalam catatan saya, sejauh ini strategi narasi kedua calon gubernur penantang, Agus Harimurti dan Anies Baswedan cukup keteteran saat menyerang keunggulan Ahok. Realitas yang mereka tawarkan pun, akhirnya menjadi semacam hiper realitas yang mudah dipatahkan.

Bagaimana dengan isu lain? Tak dapat dimungkiri, tak sedikit undecided voters Jakarta yang tersakiti karena mengalami secara langsung ketegasan dan kelugasan Ahok melakukan penertiban demi penataan kota Jakarta  dengan tujuan jangka panjang.

Hal yang, kemudian menjadi narasi penting bagi dua penantang tersebut. Sebut saja utopia membangun tanpa menggusur, yang pernah menjadi senjata kampanye Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012. Saya menyebut utopia karena secara teknis sangat sulit dilakukan secara administrasi, waktu dan biaya.

Lalu bagaimana untuk mempengaruhui undecided voters tersebut agar berubah pikiran? Dengan waktu hanya tersisa dua bulan maka ada empat faktor yang harus digenjot para calon gubernur dan tim sukses mereka.

Pertama, sosialisasi dan upgrading dari pasangan calon melalui debat, kampanye dan media. Kedua, pendekatan pada agen politik dalam lingkaran individu pemilih. Ketiga, peningkatan aktivitas partai, ormas, atau civil society. Keempat, faktor fenomena atau peristiwa politik luar biasa.

Faktor pertama, tentu akan sulit dimaksimalkan mengingat para calon gubernur dibatasi oleh aturan kampanye yang diawasi Badan Pengawas Pemilu, meski masih memungkinkan menyerang lewat udara (media). Faktor kedua dan ketiga dalam Pilkada DKI diakui atau tidak telah digarap secara artifisial dan organik oleh dua penantang berkat faktor keempat yaitu, status tersangka Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.

Siapa yang akan menang? Secara naif jika kita hanya becermin pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jakarta yang kini tertinggi dibanding provinsi lain.

Meminjam pendapat dua guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Boediono dan Pratikno, kemakmuran memiliki korelasi pada tingkat demokrasi sehingga seharusnya isu agama tidak secara langsung mempengaruhi pilihan politik.

Namun, seperti pendapat keduanya, dalam praktik demokrasi Indonesia saat ini masih terdapat dilema bagaimana good governance mampu memadukan rasionalisme dan populisme dengan tetap merawat kesadaran berbangsa dan nation building. Di sini, peran undecided voters sangat vital.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Revisi UU Kementerian Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

[POPULER NASIONAL] Babak Baru Kasus Vina Cirebon | "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com