JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, istilah penodaan atau penistaan agama tidak dikenal dalam sistem hukum dan HAM internasional.
Menurut Al Araf, sistem hukum diciptakan tidak untuk mengatur hal yang terkait pandangan seseorang terhadap keyakinan tertentu.
Sebab, jika instrumen hukum digunakan untuk memroses pandangan seseorang atas keyakinan, hal itu hanya akan menimbulkan kontroversi.
"Hukum tidak bekerja untuk mengatur pandangan seseorang terhadap keyakinan tertentu, karena hanya akan melahirkan kontroversi," ujar Al Araf dalam diskusi di Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Al Araf menjelaskan, idealnya persoalan dugaan penistaan agama seharusnya tidak diselesaikan melalui mekanisme hukum, melainkan melalui jalan dialog atau komunikasi.
Jika kasus penistaan agama diselesaikan melalui jalur hukum, kata Al Araf, justru rentan disusupi kepentingan politik.
"Persoalan penodaan agama harusnya diselesaikan dengan jalan dialog atau komunikasi, tidak diselesaikan melalui prosedur hukum," kata Al Araf.
(Baca juga: Penyikapan Kasus Penistaan Agama Dinilai Bisa "Mendewasakan" Demokrasi)
Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, mengatakan, berdasarkan Undang-Undang PNPS No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, ada mekanisme yang harus ditempuh sebelum proses penyelidikan oleh kepolisian.
Pasal 2 UU tersebut menyatakan, barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 (melakukan penafsiran tentang sesuatu agama) diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
"Berdasarkan PNPS No. 1 tahun 1965 seharusnya ada proses awal yakni pemberian peringatan," kata Ismail.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.