JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami mengatakan, ada alasan di balik penetapan hak suara Menteri Ristek dan Dikti sebesar 35 persen untuk memilih rektor perguruan tinggi negeri.
Aturan ini telah berlaku sejak era pemerintah sebelumnya, saat Mohammad Nuh masih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
"Voting block ini sebagai referensi dari pemerintah karena perguruan tinggi kan milik pemerintah," ujar Amich dalam diskusi "Populi Center Smart FM" di Jakarta, Sabtu (29/10/2016).
(baca: KPK Akan Kaji Hak Suara Menteri Sebesar 35 Persen dalam Pemilihan Rektor)
Amich mengatakan, saat itu ada pergeseran tata kelola perguruan tinggi sehingga mekanisme pemilihan rektor mengalami perubahan.
Diperlukan adanya suara pemerintah untuk menyeimbangkan suara internal.
Di sisi lain, perguruan tinggi dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menyuarakan agenda dalam bidang pendidikan.
(baca: KPK Usut Dugaan Korupsi Pemilihan Rektor Sejumlah PTN)
Dengan demikian, Menteri Pendidikan sebagai pengasuh perguruan tinggi negeri punya hak suara juga.
Kemudian, perwakilan dari Kemendikbud akan mengobservasi siapa calon yang dipilih dan punya kecenderungan menang.
"Kemudian tidak seluruh dari 35 persen diberikan ke satu calon, tapi disebar. Dilihat mana yang baik," kata Amich.
(baca: KPK: Dugaan Korupsi Pemilihan Rektor Biasanya di Universitas Beraset Besar)
Namun, kata Amich, selama ini tak ada permasalahan dengan hak suara 35 persen itu. Selama ini pemberian hal suara dilakukan dengan kebijaksanaan penuh.
Ia mengaku kaget karena saat ini hak suara tersebut dipersoalkan karena ada indikasi permainan di baliknya.
"Hampir delapan tahun pak Nuh jadi menteri, tidak ada isu seperti ini. Ada perdagangan suara oleh orang-orang di sekitar menteri, dikomersialisasi dan menjual 35 persen itu," kata Amich.