JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyampaikan, meski pemerintah daerah punya otoritas untuk membuat peraturan, namun sebagai negara kesatuan, pemerintah pusat punya kewenangan untuk mengawasi jalannya aturan daerah tersebut.
Hal itu disampaikan Bagir dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Senin (18/10/2016). Bagir menjadi ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon dalam uji materi ini menilai konsep pengawasan pemerintah pusat yang diatur dalam Pasal 251 UU Pemda seharusnya hanya sebatas preview terhadap Rancangan Perda (raperda) sebelum diundangkan, bukan membatalkan Perda yang sudah disahkan pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD).
Menurut pemohon pemerintah pusat hanya mengevaluasi dan sinkronisasi terhadap peraturan yang lebih tinggi.
Sementara itu, menurut Bagir, pemerintah pusat boleh membatalkan perda.
"Secara prinsip, (pemerintah) pusat mempunyai wewenang (atas peraturan) daerah itu. Sebagai sistem negara kesatuan memang tidak ada otonomi tanpa pengawasan. Jadi, itu prinsip. Itu memang hukumnya begitu," ujar Bagir di MK, Selasa.
Bagir mengatakan, meskipun otonomi mengandung makna kebebasan bagi daerah untuk mandiri, namun bukan berarti kebebasan itu tanpa batasan.
"Ini kan ada prinsip negara kesatuan dimana pemerintah pusat harus mengawasi pemerintah di daerah. Melalui kewenangan pusat," kata dia.
Bagir mengakui bahwa akan selalu terjadi polemik dan tarik-menarik ketika pemerintah pusat membatalkan perda.
"Kalau terlalu ditarik ke pusat maka menuju ke sentralistik dan desentralisasinya berkurang. Kalau terlalu ke sini (ke otonomi) dilonggarkan pengawasannya itu terlalu desentralistik," kata dia.
Namun demikian, dinamika tersebut guna menemukan keberimbangan antara pusat dan daerah.
Maka dari itu, pembatalan perda oleh pemerintah pusat pun harus dilihat dari pokok persoalan. Selain itu, pembatalan juga dilakukan secara hati-hati.
Sebab, mungkin saja sudah ada masyarakat setempat yang menerima akibat dari pemberlakukan perda tersebut.
Sehingga, jika perda yang berlaku itu dibatalkan bisa menimbulkan persoalan baru.
"Misalnya peraturan daerah membuat aturan pungutan, terus (publik) sudah bayar lalu dibatalkan, bagaimana nagihnya lagi. Berarti harus proses lagi," kata dia.