Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mantan Ketua MA: Prinsip Negara Kesatuan, Pemerintah Pusat Berwenang Mencabut Perda

Kompas.com - 18/10/2016, 15:38 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyampaikan, meski pemerintah daerah punya otoritas untuk membuat peraturan, namun sebagai negara kesatuan, pemerintah pusat punya kewenangan untuk mengawasi jalannya aturan daerah tersebut.

Hal itu disampaikan Bagir dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Senin (18/10/2016). Bagir menjadi ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon dalam uji materi ini menilai konsep pengawasan pemerintah pusat yang diatur dalam Pasal 251 UU Pemda seharusnya hanya sebatas preview terhadap Rancangan Perda (raperda) sebelum diundangkan, bukan membatalkan Perda yang sudah disahkan pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD).

Menurut pemohon pemerintah pusat hanya mengevaluasi dan sinkronisasi terhadap peraturan yang lebih tinggi.

Sementara itu, menurut Bagir, pemerintah pusat boleh membatalkan perda. 

"Secara prinsip, (pemerintah) pusat mempunyai wewenang (atas peraturan) daerah itu. Sebagai sistem negara kesatuan memang tidak ada otonomi tanpa pengawasan. Jadi, itu prinsip. Itu memang hukumnya begitu," ujar Bagir di MK, Selasa.

Bagir mengatakan, meskipun otonomi mengandung makna kebebasan bagi daerah untuk mandiri, namun bukan berarti kebebasan itu tanpa batasan. 

"Ini kan ada prinsip negara kesatuan dimana pemerintah pusat harus mengawasi pemerintah di daerah. Melalui kewenangan pusat," kata dia.

Bagir mengakui bahwa akan selalu terjadi polemik dan tarik-menarik ketika pemerintah pusat membatalkan perda.

"Kalau terlalu ditarik ke pusat maka menuju ke sentralistik dan desentralisasinya berkurang. Kalau terlalu ke sini (ke otonomi) dilonggarkan pengawasannya itu terlalu desentralistik," kata dia.

Namun demikian, dinamika tersebut guna menemukan keberimbangan antara pusat dan daerah.

Maka dari itu, pembatalan perda oleh pemerintah pusat pun harus dilihat dari pokok persoalan. Selain itu, pembatalan juga dilakukan secara hati-hati.

Sebab, mungkin saja sudah ada masyarakat setempat yang menerima akibat dari pemberlakukan perda tersebut.

Sehingga, jika perda yang berlaku itu dibatalkan bisa menimbulkan persoalan baru.

"Misalnya peraturan daerah membuat aturan pungutan, terus (publik) sudah bayar lalu dibatalkan, bagaimana nagihnya lagi. Berarti harus proses lagi," kata dia.

Di UU Pemda hanya diakui pemerintah kabupaten/kota sebagai satu-satunya subyek hukum yang dapat mengajukan keberatan ke MA atas keputusan pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur atau menteri, atau perda provinsi oleh menteri.

Menurut Bagir, tidak benar jika pemohon apriori atau beranggapan bahwa pengawasan terhadap perda hanya bisa dilakukan oleh MA dan tidak hanya oleh pemerintah pusat.

"Karena ini dalam ranah hukum administrasi, ranah pemerintahan, dimana pemerintah pusat dan daerah itu harus ada hubungan pengawasan," kata dia.

Uji materi UU Pemda diajukan oleh dua pihak. Pihak pertama, yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang teregistrasi dengan nomor perkara 66/PPU-XVI/2016.

Sementara pihak kedua atas nama Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono.

Gugatan teregistrasi dengan nomor perkara nomor perkara 56/PUU-XIV/2016. FKHK mengajukan gugatan uji materi atau judicial review (JR) terkait Pasal 251 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Peraturan Pemerintah Daerah.

Menurut FKHK, pembatalan peraturan daerah oleh menteri dalam negeri dan gubernur bertentangan dengan Pasal 24 A UUD 1945.

FKHK, meminta majelis MK menafsirkan secara spesifik pasal dari UU yang digugat tersebut.

Sebab, penafsiran pasal tersebut kebablasan sehingga menteri dalam negeri dan gubernur bisa membatalkan peraturan daerah.

Sementara itu, Abda Khair Mufti dan kawan-kawan menilai kewenangan gubernur atau menteri untuk membatalkan perda atau pergub yang tercantum di UU Pemda merupakan executive review.

Hal itu membuka peluang dipergunakan untuk kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan cenderung mengarah resentralisasi.

Executive review secara represif yang diatur dalam UU Pemda merupakan kompetensi MA sebagai pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Nasional
Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Nasional
Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com