JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Fraksi PDI Perjuangan di MPR RI, Ahmad Basarah menilai, usulan PPP tentang amandemen UUD 1945 yang mengatur soal syarat menjadi Presiden RI harus WNI asli tidak sesuai dengan politik hukum negara.
Politik hukum negara ingin menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk utamanya karena bermuatan SARA (suku, agama, ras, antar golongan).
Hal itu disampaikan Basarah dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu (9/10/2016).
"Usulan PPP untuk mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan agar berubah menjadi Presiden Indonesia ialah orang Indonesia Asli, dimana makna Indonesia asli yang dimaksudkan adalah pribumi merupakan usulan yang ahistoris dan tidak sesuai dengan politik hukum negara yang ingin menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk utamanya karena SARA," kata Ahmad seperti dikutip Antara.
Menurut Basarah, dikatakan ahistoris karena sejatinya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, yang menyebutkan Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli juga tidak pernah dimaksudkan untuk membedakan hanya warga negara Indonesia pribumi yang dapat menjadi Presiden dan warga negara Indonesia non pribumi (peranakan) dibatasi tidak dapat menjadi calon Presiden.
(baca: PPP Nilai Frasa "Indonesia Asli" Kembalikan Cita-cita Pendiri Bangsa)
Kehadiran Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 naskah asli (sebelum perubahan) pada waktu itu dilatarbelakangi persiapan kemerdekaan Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang.
"Untuk menghindar dari kemungkinan dicalonkannya seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia yang masih baru, maka frasa Indonesia asli dicantumkan. Dengan kata lain makna Indonesia asli adalah bukan orang asing atau lebih khususnya dalam konteks waktu itu adalah bukan orang Jepang," ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Basarah, makna Presiden ialah orang Indonesia asli waktu itu bukan dimaksudkan membuat perbedaan pribumi atau non pribumi melainkan orang Indonesia atau orang asing.
(baca: Wapres: Belum Tentu Semua Parpol Setuju Usulan PPP Capres Indonesia Asli)
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 kemudian dilakukan perubahan saat dilakukan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002.
Landasannya karena dalam perkembangannya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 ternyata rawan menimbulkan multitafsir, yaitu Indonesia asli oleh sebagian pihak dimaknai pribumi dan non pribumi.
"Untuk itulah dilakukan perubahan pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dengan rumusan yang lebih menjamin kepastian dan tidak menimbulkan multitafsir, yaitu Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri," katanya.
Dengan demikian, tegas Basarah, semangat Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan sebenarnya sama saja. Yang beda adalah cara penafsirannya saja.
(baca: Banyak yang Menolak Usulan Presiden Orang Indonesia Asli, Apa Kata PPP?)
"Usulan untuk memasukkan kembali kalimat Presiden ialah orang Indonesia asli yang dimaknai sempit pribumi dan non pribumi selain ahistoris juga bersifat diskriminatif, karena membedakan hak menduduki jabatan publik karena keturunan," katanya.
Dengan kata lain, lanjut Basarah, jika pasal 6 ayat 1 UUD 1945 sebelum perubahan dihidupkan kembali dan frasa orang Indonesia asli dimaknai sebagai pribumi, maka warga negara Indonesia keturunan Arab, China dan lain sebagainya, meskipun dia warga negara Indonesia sejak kelahirannya maka tidak dapat menjadi Presiden Indonesia.
"Kalau kemudian mengikuti usulan PPP, hal itu berarti tokoh-tokoh seperti Anis Baswedan, Alwi Shihab, Kwik Kian Gie, Jaya Suprana dan lain-lain tidak dapat menjadi Presiden Indonesia," kata Wakil Sekjen DPP PDIP Bidang Pemerintahan ini.
PPP mengusulkan kembalinya dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 6 ayat 1.
(Baca: PPP Usul Amandemen UUD 1945 Kembalikan Frasa "Presiden ialah Orang Indonesia Asli")
Hal itu disampaikan Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy saat memberikan sambutan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) DPP PPP di Jakarta, Senin (3/10/2016) malam.
Dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 disebutkan, "Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden".
PPP, kata Romahurmuziy, menginginkan frasa "orang Indonesia asli" kembali dimasukkan dalam pasal tersebut, persis seperti sebelum diamandemen.
(baca: Ada Apa di Balik Usulan Presiden Orang Indonesia Asli?)
Dengan demikian, pasal tersebut akan disertai frasa "Presiden ialah orang Indonesia asli".
Adapun mengenai definisi "orang Indonesia asli" yang dimaksud PPP adalah perorangan, warga negara Indonesia yang berasal-usul dari suku atau ras yang berasal atau asli dari wilayah Indonesia.
(Baca: Penjelasan Sekjen PPP soal Usul Kembalikan Frasa "Presiden ialah Orang Indonesia Asli")
Dengan demikian, WNI yang memiliki darah atau keturunan asing dianggap PPP tidak bisa menjadi presiden atau wakil presiden.
"(Keturunan asing) konsekuensinya tidak termasuk ke dalam pengertian 'Indonesia asli' tersebut. Namun, mereka tetap bisa berkiprah pada negara dalam posisi-posisi lain selain dari presiden dan wapres," ujar Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani saat dihubungi.
Selanjutnya, syarat-syarat rinci tentang pengertian "orang Indonesia asli" tersebut dapat dirumuskan dalam UU terkait lainnya, misalnya, UU yang berkaitan dengan lembaga kepresidenan atau UU Pemilu.
"Tentu nanti harus ada rumusan garis keturunan keberapa ke atasnya. Namun, PPP akan membuka diskursus tentang rumusan ini dari berbagai elemen masyarakat," tutur anggota Komisi III DPR itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.