“Persoalan bangsa kita nomor satu ialah korupsi. Bagaimana mudah sekali kita menemukan seorang tukang parkir, polisi, anggota dewan, sampai menteri, melakukannya seperti itu hal yang biasa. Solusinya adalah pendidikan dan keluarga. Keduanya. Kalau berpendidikan tinggi saja, belum tentu dia mau mengambil hak orang lain, Bila tidak dididik seperti itu dalam keluarga,” begitu Ibu Hera.
Itu jawabannya ketika ditanya apa persoalan bangsa yang menjadi kegundahannya kini.
Wartawan senior yang sampai kini pun tak berhenti menjadi juru warta ini, menulis sendiri catatan perjalanan hidupnya: Kembara Tiada Berakhir (1993) dan edisi berbahasa Inggris yang sudah diperbaharui The Endless Journey (2005).
Banyak orang muda menilai kedua buku ini telah menginspirasi kehidupan mereka. Saya salah satunya yang sangat menyukai gayanya menulis memoar dengan penuh data dan fakta.
Di era reformasi, aktivitas Bu Hera di ranah publik pun tak usah diragukan lagi. Ia sangat dekat dengan upaya pemberdayaan perempuan.
Setelah bergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan pada Mei 1998, ia menjadi salah seorang komisioner pertama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Bersama Debra Yatim, menjelang Pemilu 1999, ia mendirikan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu (GPSP) yang kini berubah nama menjadi Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan. Belum lagi keterlibatannya dalam Lingkar Mitra Budaya.
***
Pengajian Rabbani
Tidak pernah disangka, dua tahun lalu, atas ajakan Ibu Saparinah Sadli, saya bergabung dalam sebuah kelompok kecil kajian kitab suci Al-Quran yang kami beri nama Rabbani. Bu Hera salah satu anggota paling senior.
Anggota kelompok pengajian ini hampir semua berusia di atas 70 tahun, hanya 3 orang termasuk saya yang berusia 40-an.
Kami berkumpul dua kali satu bulan, dan berdiskusi membahas satu topik populer yang dikaitkan dengan ayat-ayat dalam Al-Quran. Dalam setiap pertemuan, Bu Hera, tanpa mengenakan kaca mata, masih dapat membaca dengan lantang terjemahan ayat yang sedang dibahas kali itu.
Bermain bridge serta menonton film baru dan pagelaran seni, juga seringkali dilakukan Bu Hera bersama teman-teman sebaya. Supaya tidak pikun, katanya suatu ketika.
Sampai Allah Sang Maha Pencipta memanggil Ibu Hera subuh hari ini, rasanya tak ada berubah dari kegiatan keseharian beliau.
Hanya tiga minggu terakhir, hari-harinya memang banyak dihabiskan dengan beristirahat di kamar rawat RS Medistra, Jakarta. Herawati Diah berpulang dengan tenang, menyusul sang suami tercinta dalam usia 99 tahun.
Sekali lagi, bersyukur dan selalu melihat sisi baik kehidupan, adalah energi untuk menjalani hidup dengan optimal. Tampaknya, inilah yang perlu diteladani generasi muda dari almarhumah Herawati Diah.
Bangsa ini menundukkan kepala dan mengucapkan terima kasih yang dalam atas semua perjuangan dan karya penanya. Selamat jalan Ibu Hera, pelopor perempuan wartawan dan perempuan pejuang!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.