***
Siti Latifah Herawati Diah, lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 3 April 1917 adalah perempuan wartawan pertama yang terdidik dengan pendidikan formal di Amerika Serikat sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
“Saat itu sangat jarang atau boleh dibilang tidak ada orang Indonesia bersekolah ke Amerika Serikat. Hampir semua kelompok terdidik yang bersekolah ke luar negeri, memilih Belanda sebagai negerinya menuntut ilmu. Orang tua saya sangat mendukung cita-cita saya,” kata putri dokter Latip ini dalam otobiografinya.
Kalau saat ini kita memiliki banyak perempuan berkarier di dunia jurnalistik, maka mereka semua rasanya patut berterima kasih pada Ibu Hera.
Ketika ia menerjuni profesi ini, pers Indonesia yang masih identik dengan pers perjuangan cuma membuka sedikit ruangnya bagi jurnalis perempuan.
Bu Hera lulusan Barnard College, The Columbia University, New York tahun 1942, juga boleh disebut sebagai wartawan pertama Indonesia yang terdidik secara formal.
Bersama suaminya, wartawan pelopor Burhanuddin Mohammad Diah atau BM Diah, ia berjuang dengan pena lewat surat kabar perjuangan: Merdeka dan The Indonesian Observer.
Tak ada satu insan pers pun atau mereka yang sedang mempelajari sejarah pers Indonesia, tidak mengenal pasangan wartawan Herawati Diah dan B.M. Diah.
Dua insan yang menyuarakan semangat kemerdekaan lewat dua bahasa dalam dua surat kabar yang mereka dirikan dan besarkan bersama ini. Paling tidak sampai paruh 1990-an kedua surat kabar ini masih hidup dan menjalankan roda mesin penerbitannya dengan lancar.
Bersyukur
Dalam kesempatan wawancara yang lain untuk buku Mereka dan Saparinah Sadli: Kumpulan Tulisan Media Massa dan Kesan Para Sahabat (Imelda Bachtiar, Panitia Anugerah Saparinah Sadli, Juli 2010), saya juga beruntung mendengar dan menuliskan pendapat Ibu Hera tentang usia panjang dan keprihatinannya atas kondisi negeri ini.
Negeri yang setiap jejaknya, detak nafasnya, mulai kelahirannya hingga sekarang, selalu diawasi dan disaksikannya.
Seperti seorang Ibu yang melahirkan, menyusui, mengasuh dan membesarkan buah hatinya. Saya mengutip pendapatnya yang saya tulis dalam buku itu dengan ujaran langsung.
“Bersyukur", itu perasaan yang tak henti diungkapkan oleh pendiri The Indonesian Observer dan generasi Angkatan 1945. Siti Latifah Herawati Diah, ketika enam tahun lalu ditanyakan perasaannya.
Istimewa, karena capaian usia, kesehatan yang optimal, memungkinkannya menjadi saksi bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.