Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Tolak Tuntutan Pencabutan Hak Politik Damayanti

Kompas.com - 26/09/2016, 14:57 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta menolak tuntutan pencabutan hak politik terhadap terdakwa mantan anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti.

Hakim menilai, hak politik merupakan hak asasi manusia setiap warga negara yang tidak dapat dibatasi oleh siapapun.

Hal tersebut dikatakan anggota Majelis Hakim Sigit Herman Binaji, saat membacakan putusan terhadap Damayanti di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/9/2016).

Damayanti dinilai terbukti menerima suap Rp 8,1 miliar.

"HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan karena alasan apapun, sehingga Majelis tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa penuntut KPK," ujar hakim Sigit.

(Baca: Hakim Tetapkan Damayanti sebagai "Justice Collaborator")

Menurut hakim, dalam alam demokrasi, masyarakat Indonesia semakin cerdas dalam menggunakan hak pilihnya mengenai jabatan publik tertentu baik ekesekutif maupun legislatif.

Majelis berpendapat, dipilih atau tidak seseorang, harus diserahkan kepada masyarakat untuk menilai integritas dan kapasitas calon pejabat publik.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menggunakan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam UU tersebut, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu, berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Selain itu, setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas.

(Baca: Damayanti Divonis 4,5 Tahun Penjara)

Adapun, pada ayat 3 Pasal 43, disebutkan bahwa setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Menurut Hakim, hukuman penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah cukup untuk menjadi pelajaran berharga, sehingga ke depannya terdakwa tidak mengulangi perbuatannya.

Selain itu, hukuman penjara dinilai sudah bisa memberikan efek jera bagi yang lain agar tidak mencoba melakukan perbuatan yang sama.

Damayanti dijatuhi hukuman pidana selama 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

(Baca: Damayanti Minta Hak Politiknya Tak Dicabut)

Damayanti didakwa menerima suap sebesar Rp 8,1 miliar dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir.

Anggota Fraksi PDI-P tersebut didakwa secara bersama-sama dengan anggota Komisi V lainnya, Budi Supriyanto, dan dua orang stafnya, Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com