Desakan agar pemerintah menyita semua kekayaan perorangan atau badan-badan hukum yang diperoleh secara tidak sah melalui manipulasi atau penyalahgunaan kekuasaan negara disuarakan pucuk pimpinan GP Ansor. Pemerintah diminta menyeret mereka ke pengadilan subversi tanpa memandang pangkat dan golongan bila mereka bersalah.
Pernyataan GP Ansor yang ditandatangani Jahja Ubaid dan HA Chalid Mawardi seperti diberitakan Kompas, Rabu, 28 September 1966, memberi penghargaan kepada Jaksa Agung Mayjen Sugih Arto yang mengumumkan nama-nama perusahaan dan mereka yang terlibat dalam Deferred Payment Chusus (DPC). Mereka dinilai telah mengacaukan perekonomian selama rezim 100 menteri yang korup berkuasa.
"Sekarang waktu yang tepat untuk membersihkan negara kota dari kaum koruptor dan manipulator, yang selama ini menjadi parasit yang mengacaukan perekonomian," demikian isi berita Kompas tersebut.
Meskipun sejak 1960-an persoalan korupsi sudah dikupas tuntas, termasuk tuntutan hukuman mati terhadap koruptor sudah dilakukan, dalam eksekusinya koruptor "hanya" dihukum tujuh tahun, jauh dari tuntutan jaksa.
Korupsi yang merugikan uang negara sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu di negeri ini. Imbauan, desakan agar pemerintah menyita kekayaan para koruptor pun sudah digaungkan sejak 1960-an. Mengapa pelakunya tak juga jera dan korupsi terus terjadi?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.