JAKARTA, KOMPAS.com – Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan, kajian tentang biaya sosial bagi terpidana korupsi yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi, sebenarnya bukan hal baru.
Namun, untuk menerapkan gagasan tersebut, bukan perkara mudah.
Menurut dia, KPK harus merumuskan apakah biaya sosial ini termasuk ke dalam jenis pidana tambahan atau pidana pokok.
Jika memang ingin memberikan efek jera, seharusnya biaya sosial ini termasuk ke dalam jenis pidana pokok.
“Sebaiknya pidana pokok. Jadi dia betul-betul diterapkan tanpa terkecuali, kecuali tidak terbukti atau tidak kuat,” kata Lalola saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2016).
“Kalau ada pidana korupsi ya masukin aja ke dalam (revisi) UU Tipikor. Dimasukkan sebagai itu tadi, tidak hanya sebagai pidana tambahan,” lanjut dia.
Persoalan lain, kata Lalola, yaitu bagaimana cara menghitung biaya sosial yang akan dibebankan kepada terpidana.
KPK perlu merinci mekanisme penghitungan itu di dalam UU. Sebab, mekanisme itu nantinya akan menjadi dasar bagi jaksa penuntut umum untuk mengajukan tuntutannya.
Sebagai contoh, jika ada indikasi terjadinya praktik korupsi atau suap di dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, kerugian yang diderita masyarakat juga dapat dimasukkan.
Namun, kerugian materiil tersebut harus dapat dibuktikan.
“Kalau dia bisa membuktikan keterpenuhan unsur pasal yang bisa dibuktikan dengan alat bukti yang dimiliki dan dikuantifikasi, itu bisa. Cuma permaslahannya bagaimana mengkuantifikasi itu dan alat buktinya atau keterpenuhan unsur saja,” ujarnya.
Masalah lain yang tak kalah penting yaitu bagaimana menyamakan persepsi antar penegak hukum.
Ia mengatakan, jika memang ada niat dari penegak hukum untuk memiskinkan koruptor, maka jaksa penuntut umum dan hakim harus memiliki kesamaan visi dan misi.
Indonesia, kata Lalola, sebenarnya sudah memiliki instrumen untuk memiskinkan para koruptor, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Persoalannya, pasal TPPU jarang digunakan dalam tuntutan kasus korupsi. Menurut Lola, jarangnya pasal TPPU tidak digunakan dalam persidangan lantaran pasal itu berada di luar UU Tipikor.
Untuk itu, jika memang KPK ingin menambahkan biaya sosial di dalam salah satu bentuk hukumannya, sebaiknya pidana itu masuk ke dalam UU Tipikor.
Sebelumnya, dikutip Harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
(Baca: Soal Usul Bebani Koruptor Biaya Sosial, Komisi III Nilai Hukuman Tambahan Masih Bisa Dimaksimalkan)
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.
Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
(Baca: Bebani Koruptor dengan Biaya Sosial)
Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.
Dalam kajian KPK, biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.